![]() |
Sumber : Kompasiana |
Kolaborasi?
Humm… Seru nggak ya? Efektif nggak ya? Ribet nggak ya? Jawabannya: ya, ya, ya,
dan iya! Buat penulis pemula, kolaborasi bisa jadi pilihan. Selain menantang,
kita bakal ketemu momen lucu di dalamnya.
Apa
saja sih manfaat kolaborasi? Berikut ekstraksinya.
1.
Motivasi
‘Uh, pengen jadi
penuliiiss pengen jadi penulisss pengen jadi penuliiisssss….’ Tapi nggak nulis
nulis! Atau, selalu meninggalkan tulisan setengah jadi sehingga nggak jadi-jadi.
Itu pertanda bahwa kita perlu dorongan dari luar, salah satunya dari
kolaborasi. Kenapa? Karena, pertama, dengan mengajak partner atau menerima ajakan
partner, berarti kita terikat janji,
sedangkan janji adalah utang, dan utang harus dibayar, kalo nggak bayar, dikejar debt collector, lhoooo? Intinya, beban moral akan mendorong kita
untuk menulis.
Kedua, asik nggak sih
kalau kita berasa jadi agen rahasia pembawa misi perubahan? Berasa jadi Tom
Cruise dkk dalam Mission Imposible, bedanya, action kita lewat tulisan. Ini bisa tumbuh dalam diri jika kita
mengemban visi-misi yang sama dengan partner.
Inilah yang bisa menambah semangat menulis kita.
Ketiga, kita berada di
posisi aman untuk menulis nantinya, karena, kita dan partner akan saling membantu dan mengingatkan. Banyak di antara
kita yang gamang menulis karena takut salah atau tidak percaya diri dengan
penguasaan teknik, namun dalam kolaborasi, kita akan saling melengkapi.
2.
Disiplin
Biasanya, penyakit akut
penulis pemula ialah tidak disiplin! Dalam kolaborasi, kita akan menetapkan konsep,
target, dan jadwal sehingga rute pengerjaan menjadi jelas dan tertata. Beban
moral terhadap partner bisa mendorong
kita untuk menepati jadwal tersebut. Beruntung lagi jika level kedisiplinan partner lebih tinggi sehingga kita
terbawa arusnya.
3.
Mematangkan ide
Dalam kolaborasi, sebuah
ide bisa berkembang. Ide-ide datang dari kepala dan sudut pandang berbeda.
Dengan perbedaan wawasan dan pengalaman, kita dan partner akan saling menyempurnakan dan mengevaluasi ide sehingga
menjadi lebih kreatif dan matang. Kadang, ada ide yang dirasa sudah brilian,
tapi dari sudut pandang lain, ternyata ide tersebut tidak logis atau jadul.
4.
Lebih kaya
Semakin beragam latar
belakang dan pengetahuan penulis, semakin kaya sebuah karya. Misalnya, kita
bisa menulis karya dengan warna profesi atau daerah asal partner. Pengalaman perjalanan yang berbeda bisa memperkaya setting dan konflik dalam tulisan.
Misalnya, kita adalah pelancong koper sedangkan
partner adalah pelancong ransel atau
pecinta alam.
Selain itu, kita bisa
juga kaya dari sudut pandang. Misal, kita dan partner adalah laki-laki dan perempuan maka kita bisa menulis karya
dengan dua sudut pandang tersebut. Atau, sudut pandang dari seorang remaja,
ibu-ibu, bapak-bapak, pemalu, tegas, dan lain-lain yang merupakan karakter kita
atau partner.
5.
Banyak referensi
Pertama, referensi ide. Ide
yang berbeda lahir dari wawasan dan pengalaman berbeda. Misal, partner mengetahui tentang gangguan
psikologi tertentu sehingga bisa menjadi ide untuk meramu karakter dan konflik
cerita. Contoh lain seperti isu pengurangan populasi manusia, daur ulang obat, penyalahgunaan
frekuensi publik, dan lain-lain.
Kedua, referensi baik
terkait teknik menulis maupun dunia dan tipe karya yang sedang ditulis. Kita
dan partner bisa saling
merekomendasikan buku apa yang perlu dibaca. Apalagi jika rekomendasi itu
merupakan hasil membaca langsung sehingga tepat sasaran. Misalnya, rekomendasi
buku meramu konflik, menciptakan karakter, buku dengan genre yang sama, atau
buku terkait profesi atau konflik yang
akan ditulis, dan lain-lain.
6.
Saling melengkapi
Kolaborasi menyatukan
berbagai kemampuan sehingga saling melengkapi. Dengan begitu, kolaborasi bisa
menjadi ajang saling belajar. Misalnya, kita unggul dalam menciptakan konflik
sedangkan partner unggul dalam
menentukan ending. Atau, partner unggul dalam menentukan
peristiwa, kita unggul dalam menciptakan proses agar peristiwa tersebut
terjadi.
Waw,
tertarik berkolaborasi? Eits, ketahui dulu tantangannya berikut ini.
1.
Saling menghargai dan terbuka
Untuk membuat konsep,
kita harus menyatukan berbagai ide, di sinilah diperlukan saling menghargai. Jikalau
ada kelemahan partner, kita perbaiki.
Kadang-kadang, kita juga harus ikhlas saat partner
bilang, “Itu sinetron, itu klise,” atau “Tokoh ini tidak akan bertindak ‘begini
dan begitu’.”
2.
Menyamakan persepsi
Konsep berdarah-darah
sudah dibuat, tapi perbedaan pemahaman bisa membuyarkannya. Kita ditantang
dengan rumitnya menyatukan pemahaman karakter. Bisa jadi, adegan yang kita buat
merepresentasikan karakter yang bertentangan dengan konsep atau yang dibuat
oleh partner. Kalau sudah begini,
kita perlu menulis ulang. Jadi, kita juga harus membaca apa yang dibuat oleh partner.
3.
Menyamakan gaya bahasa
Gaya bahasa bisa sedikit
berbeda jika memang kita dan partner
berperan sebagai tokoh yang berbeda misalnya laki-laki dan perempuan. Agak rumit,
jika kita dan partner memerankan
tokoh yang sama. Diperlukan pemahaman gaya bahasa yang sama baik terkait segmen
pembaca maupun penggunaan kata ganti subjek. Misal, kita menulis dengan gaya
dewasa sedangkan partner menulis
dengan gaya remaja. Atau, kita menulis dengan kata ganti ‘kamu’ sedangkan partner menulis dengan kata ganti ‘kau’.
Begitu juga dengan ‘tidak-tak-nggak’, ‘ibu-mama-bunda’, ‘Dek-dik’, dan
sebagainya.
Oww oww…. Tenang… Selalu
ada jalan bagi orang yang suka tantangan. Kolaborasi tidak akan berhasil jika
kita menganggapnya sebagai ‘ring tinju’. Tetapkan dalam hati bahwa kolaborasi
adalah ajang untuk saling menyemangati, belajar, dan melengkapi. Sama halnya
dengan menulis, kolaborasi memerlukan komitmen dan disiplin untuk menyelesaikan.
Jika kita bisa melewati
semua ini, kita akan berhasil menggendong bayi karya kita, melihatnya membuka
mata dan tertawa. Bahkan, kita bisa mengirimkannya ke lomba. Walau belum
rejeki, karya yang sudah jadi bisa kita revisi dan dikirim lagi.
Nah, selain lahirnya
karya, kita bisa dapat bonus momen lucu macam yang pernah dialami FLP-ers ini.
Maulida
Azizah (Anggota Divisi Pembakardiriku, orang tua “2B”, dan “Senyawa”)
Kolaborasi itu asik.
Kita akan mendiskusikan sesuatu yang tidak ada (fiktif). Kita akan berdiskusi
untuk menentukan siapa tokoh kita, kenapa, dan bagaimana latar belakangnya,
serta apa masalah hidupnya. Kadang-kadang, saya dan partner menertawakan tingkah tokoh fiktif kami sendiri atau ide-ide
gila kami. Kami juga kadang sama-sama ngotot
untuk menentukan bagaimana tokoh bertindak.
Mahfuz
TNT (Ketua FLP Malang, orang tua “Senyawa”)
Momen lucu yang pernah
saya alami itu, ketika alur cerita yang kami buat nggak nyambung sama sekali.
Saya ceritakan tingkah cewek yang tolol, goblok, edan, aneh sementara di ujung
dunia sana, partner saya membuat
adegan yang menunjukkan cewek tersebut jenius. Gimana nggak pencet
Ctrl+a>del?
Ummu Rahayu (Anggota Humas, orang tua “2B”)
Pasca-pengiriman naskah
kami diwarnai kecelakaan kendaraan bermotor. Siapa pelakunya? Saya! H-1 event, Maulida dan saya baru mengedit
naskah. Alamak! H-semalam, kami baru konsultasi sinopsis kepada Mashdar Zainal.
H-dua jam, naskah baru digabung, membuat surat kelengkapan, lalu di-print.
H+beberapa menit, kita kebut-kebutan di jalan. Fiuh, untung selamat sampai
tujuan dan masih ada kesempatan. Sepulang dari event itu, karena kurang sabaran, motor saya yang memotong
tikungan, diterjang. Alhamdulillah,
saya dan Maulida direpotkan oleh sebuah pertanggungjawaban untuk membetulkan
motor korban yang berantakkan.
Nah, begitulah kiranya
kolaborasi yang menantang tapi seru dan bermanfaat terutama bagi penulis
pemula. Berani mencoba?
0 Comment to "SERUNYA KOLABORASI"
Post a Comment