Oleh-oleh dari Upgrading FLP (Forum Lingkar Pena) Jatim dan Kuliah
Umum Dare to be Writerpreneur, 6-8 Februari 2016
Disarikan oleh Gusti A.P.
"Penulis itu harus kaya," kata Bapak
Nun Urnoto El-Banbary saat membina sesi Training for Trainer pada program
Upgrading FLP Jatim kemarin.
"Kalau jadi penulis miskin, orang
akan semakin meremehkan profesi ini. Mereka akan bilang, 'Buat apa jadi
penulis? Tukang ngayal, tetap miskin.' Akhirnya nggak bakal ada yang jadi
penulis. Makanya jadi penulis itu harus kaya."
Ada benarnya juga kata-kata penulis novel Anak-Anak Pangaro, Anak-Anak Revolusi Tanah Raja dan Memanjat Pesona ini.
Berdasarkan berita Koran Sindo versi website 2015 lalu, minat baca
masyarakat Indonesia, dibanding negara Asia lainnya sangat di bawah
rata-rata. Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) Budi Wibowo mengatakan, dorongan lingkungan sekitar
masih belum mendukung untuk menumbuhkan minat baca.
"Untuk DIY, data terakhir survei
2012, indeks bacanya 0,049. Ini yang tertinggi di Indonesia, jika dibandingkan
dengan daerah lainnya. Tapi jika dibandingkan luar, seperti Singapura masih
jauh. Di sana, indeksnya sudah 0,45."
Berarti yang termasuk kita-kita ini cuma masuk dipersentase yang nol koma
sekian-kian itu. Wasem tenan, tho? Dampaknya
apa? Baru-baru
ini para penggiat dunia literasi, mulai dari para penulis hingga pecinta buku
diresahkan dengan dinaikkannya pajak bagi penerbitan buku. Yang dinaikkan itu
sudah termasuk pajak bagi penjualan, royalti penulis, kertas, dan seluruh
lini produksinya. Luar biasa. Nggak heran kalau harga buku jadi semakin
melambung tinggi, lebih cepat dari kecepatan terisi ulangnya dompet.
Saat ini kondisinya, pajak diturunkan untuk jenis hiburan lain selain
buku seperti tontonan film, tontonan pagelaran kesenian, musik, peragaan
busana, pameran, diskotik, karaoke, klub malam, pertunjukan sirkus, sulap, dan
tontonan pertandingan olahraga. Dan kalau hanya melihat dari sudut pandang
untung-rugi material saja, itu wajar. Karena memang masyarakat lebih memilih
hiburan-hiburan tersebut daripada kegiatan membaca. Karena peminatnya banyak
meskipun pajaknya diturunkan, tetap bisa memberikan keuntungan yang besar.
Sedangkan karena buku peminatnya dikit, kalau pajaknya dimurahkan, pemasukannya
makin sedikit. Dimahalkan saja sekalian. Jadi walau yang minat dikit,
pemasukannya tetap besar. Begitulah kebijakan orang-orang pajak yang getol
mempromosikan jargon, “Orang bijak bayar pajak.” (Lha orang pajak apa bijak?
Hehehe)
Persoalan minat baca dan tulis ini jadi lingkaran setan. Singkatnya,
kalau diruntut sebab musababnya jadi begini: Kenapa nggak suka baca buku? Karena nggak terbiasa beli buku. Kenapa
nggak beli buku? Karena buku mahal. Kenapa buku mahal? Karena pajak buku
dinaikkan. Kenapa pajak buku yang dinaikkan? Karena orang-orang nggak suka baca
buku! Kalau pajak buku diturunkan, apakah akan langsung menaikkan tingkat
minat membaca masyarakat? Jawabannya: enggak!
Karena semisal kalau orang-orang
seperti itu ditanyai lagi, “Ini saya kasih buku gratis, mau nggak?” atau “Ini
saya kasih fasilitas belajar nulis gratis, mau nggak?”
Bisa jadi jawabannya begini, “Buat apa baca? Buat apa nulis? Nggak
ada waktu. Nggak bikin kaya. Mending nonton orkes dangdut di kampung sebelah!”
Jadi itu semua terjadi karena kita sendiri nggak bisa meyakinkan
mereka bahwa membaca dan menulis itu bisa memberikan keuntungan yang riil.
Termasuk keuntungan finansial.
Yang jelas, bukan zamannya lagi penyair atau penulis yang identik dengan
ketidakmapanan. Tampang kucel, baju kumal, kamar kumuh, sa'penake
dhewe, nggak punya manajemen waktu dan karya. Bagaimana
penulis bisa meyakinkan orang-orang untuk membeli karyanya kalau begitu?
Chairil Anwar sendiri ketika melamar Mirat pacarnya, ditolak mentah-mentah oleh
orangtua gadis itu.
"Kau cari kerja dulu, baru
kemudian melamar anakku!" geram calon mertuanya.
Ya iyalah!
Penulis harus punya visi masa depan,
dan hidup tertata agar bisa berkarya dengan profesional.
Coba kalau kita adalah penulis yang
kaya. Orang pasti berbondong-bondong bertanya kepada kita, “Kok bisa kaya? Kerjanya
apa?”
Terus kita bisa menjawab dengan
jawabannya, “Nulis dong.”
Pasti orang-orang pingin meniru. Dan
kalau mereka bertanya gimana biar bisa nulis yang bikin kaya? Kita bisa dengan
jumawa menjawab, “Mau tau? Beli dan baca buku saya. Nanti Anda akan tahu.”
Lalu mereka akan beli buku kita deh.
Horeee...Wenak tho?
Agar tidak terlalu panjang, tulisan writerpreneurship bagian pertama yang disarikan dari materi Upgrading FLP Jatim ini
diakhiri dulu sampai di sini. Tulisan berikutnya akan membahas soal Kenapa Penulis Tidak Bisa Kaya. Mindset apa saja yang bisa menghalangi
seorang penulis untuk mencapai kesuksesan, dan bagaimana mendobrak mindset tersebut.
Referensi
Referensi
Widodo, Dukut Imam, 2016. Menulis
Itu Adalah Sebuah Pekerjaan. Materi yang dibawakan pada sesi Kuliah Umum Dare
to be Writerpreneurship, Upgrading FLP Jatim Februari 2016.
Sesi Training for Trainer untuk
Kelas Upgrading Kepenulisan Novel yang dibawakan oleh Nun Urnoto El-Banbary di
acara Upgrading FLP Jatim Februari 2016