SALAM LASKAR PENA!
Owkeh, Neko nge-blog di sini lagi, ah syukurlah tanggapan-tanggapan terhadap postingan-postingan blog mulai berdatangan. Walaupun yang menanggapi baru para penulis yang tulisannya dibahas di sini. Yang lainnya mana nih? (celingukan) Dan saya benar-benar berharap para editor lain bisa segera urun-rembug di sini dan ikut membahas karya-karya anak FLP Malang. (memanggil-manggil Mbak Zie, Pak Dar, Ai, dan Mas Cecep. Where the heaven are you, Guys???!)
Anyway, biar blog ini rame, Neko membuka lowongan buat anggota FLP Malang lain yang berniat menjadi editor tamu di blog ini. Silahkan buat yang berminat untuk bergabung dan belajar cara mengapresiasi sastra bersama-sama di blog ini dengan menjadi admin, bisa hubungi Neko. Sertakan nama, dari divisi mana (kalau memang termasuk pengurus) dan email gmail waktu sms Neko. Nanti insyaallah langsung Neko add sebagai "author". Tapi harus istiqomah loh, coz walau udah daftar tapi ga nulis-nulis ya terpaksa Neko hapus juga. Yang ga tahu nomor HPnya Neko, Tanya Mbak Zie aja ya. Hehehe… yang nggak tahu nomornya Mbak Zie… masyaallah, Ente kebangetan!
Oke, di editorial yang sebelumnya, Neko sudah menyatakan kalau nama divisi ini aslinya Divisi Kritik Sastra kan? Lalu kenapa nama divisi ini tiba-tiba diubah dalam blog? Bisa dibilang pengubahan ini bersifat sepihak karena belum dimusyawarahkan di rapat pengurus. Belum sempat ketemuan sih hewww… Tapi karena blog ini harus segera di-launching (coz semangat udah kadung membara… semangat mulung wkwkw… Mulungin karya).
Kemudian ketika Neko sedang bikin blog dan utak-atik tampilan dan memikirkan judul blog yang sesuai, muncullah wacana ini dari Pak Heri: "Membahasakannya jangan pakai kata 'Kritik'-lah. Nanti kesannya negative."
"Waduh terus yang bagus gimana Pak?" Neko jadi bingung. Karena alamat blognya udah fix jadi www.kritiksastraflpmalang.blogspot.com
"Pakai Dialog Pena. Atau Dialog Sastra aja."
Cuma karena Neko sedang terobsesi dengan kata LASKAR PENA (hehehe sedikit epigon dari Laskar Pelangi), akhirnya Neko memutuskan judul blognya menjadi Laskar Pena Mengapresiasi. Dan nama Divisi pun diganti menjadi Divisi Apresiasi Sastra agar kesannya lebih ramah. Pak Heri pun agaknya lebih setuju karena "Mengapresiasi" kesannya lebih positif dan tidak sesangar "Mengritik". Jadi bolehlah Laskar Pena berpikir bahwa kata "mengapresiasi" di sini adalah hasil eufimisme dari kata "mengritik". Lebih sopan. hehehe
Tentu saja kata "Apresiatif" diharapkan akan lebih terasa kental mewarnai blog ini. Karena kita tentu nggak mau blog ini cuma jadi ajang kritik dan ajang bantai karya. Aiiih! Nggak nyaman banget nanti pastinya. Tapi sampai saat ini, Neko nggak terlalu mendefinisikan "KRITIK" sebagai kata yang bersifat negatif. Itu kan tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Lagipula ada istilah "Kritik Membangun" kan. Dan aneh aja kalau Neko nggak mau dikritik coz Neko sendiri doyan ngritik. Pedes pula! Huahahahaha… Well tapi semua itu tergantung dari "CARA". Karena memang ada orang yang mengritik dengan cara yang seolah minta dibacok! =_= Bukan kritik namanya kalau tujuannya adalah ngejlokno atau menghancurkan mental yang dikritik. Kalau itu mah bilang aja terang-terangan "mengejek". Jangan bersembunyi di balik kata "Kritik" hanya agar terkesan lebih intelektual!
Sebagai sastrawan dan kaum akademisi, tentunya kita punya etika tersendiri dalam mengritik. Tidak sembarang mengritik, tapi juga ada ilmunya. Bahkan dalam pembelajaran sastra, Kritik Sastra menjadi cabang ilmu tersendiri dan mendapat jatah satu kelas mata kuliah. Dan di sanalah kita mengenal teori-teori kritik sastra. Karena Neko lebih sering gaul ama anak-anak Sastra, Neko pernah bertanya begini kepada seorang dosen sastra, di depan semua anak-anak Sastra satu angkatan: "Ma'am, kenapa sih kita harus mempelajari begitu banyak teori hanya untuk mengritik karya sastra? Kenapa kita nggak belajar bagaimana cara untuk membuat karya sastra saja?"
Sang dosen menjawab bahwa dalam studi sastra, orang-orang terbagi menjadi dua. Satu adalah pihak creator. Mereka yang menghasilkan karya-karya untuk kemudian diapresiasi dan dikritik. Di samping itu ada lahan tersendiri bagi para kritikus sastra. Ya mereka ini yang mengritik karya-karya tersebut. Dan menurut Bu Dosen itu, adanya kritik justru mengangkat karya sastra itu. (sama seperti editorial edisi pertama ya) Semakin banyak kritik yang diterima suatu karya, berarti karya itu memang menyimpan daya tarik (entah yang sifatnya positif atau negatif) yang membuat banyak pembaca ingin memberi respon. Jadi berbanggalah jika karyamu dikritik. Itu berarti kualitas karyamu mulai diakui dan dianggap layak mendapat tanggapan. Hehehehe… Sedih banget kan kalau udah capek-capek berkarya tapi akhirnya malah dicuekin? Karena itu, Neko harap kritik, saran, dan apresiasi berupa editor’s note di blog ini, bisa mengangkat pamor karya-karya yang ada. Yang lebih penting lagi adalah menghidupkan karya-karya berikut hingga bisa menjadi sebuah wacana yang patut untuk ditindaklanjuti.
Menariknya, seperti kata Pak Karkono dalam kelas Teori Sastra-nya yang lalu, "Seringkali pembahasan karya sastra atau kritik sastra jauh lebih heboh daripada karya itu sendiri. Bahkan biasanya sampai membawa-bawa tafsir makna yang jauh lebih dalam. Yang bahkan tidak terpikir oleh si pengarang karya itu sendiri."
Dosen muda itu lalu melanjutkan contohnya adalah puisi Bulan di Atas Kuburan karya Sitor Situmorang. Begitu banyak tanggapan, review, dan pembahasan atas karya itu. Puisinya sendiri sangat pendek. Tapi begitu banyak para kritikus yang berusaha menggali-gali makna-makna simbolis dari puisi itu. Di antaranya ada yang bilang, bulan menyimbolkan keindahan. Sedangkan kuburan, sebaliknya menyiratkan kematian, kesedihan, sehingga ada paradoks dan ironi dalam puisi itu. Seperti di blog ini : http://nesia.wordpress.com/2008/09/23/malam-lebaran-bulan-di-atas-kuburan/. Padahal, kata Pak Karkono, dalam sebuah kesempatan ketika ditanyai tentang makna puisinya, Sitor Situmorang mengaku bahwa ia membuat karya itu karena kebetulan suatu malam ia lewat kuburan dan ia melihat bulan purnama bersinar saat itu http://berpikirpagihari.blogspot.com/2009/09/malam-lebaran-bulan-di-atas-kuburan.html
That's it. GLODHAK KROMPYANG KLONTHANG banget kan?
Contoh lain, coba saja tengok saja skripsi para mahasiswa Sastra. Karya yang dibahas bisa saja hanya cerpen beberapa lembar, novel tipis, atau bahkan mungkin hanya sebaris lirik lagu. Tapi hanya dengan membahas karya-karya tersebut saja bisa menghasilkan ratusan lembar skripsi tebal. Bisa dipakai untuk meluluskan diri dan mendapatkan gelar sarjana pula! Hehehe… Itulah yang menarik dari dunia kritik sastra.
Adapun kembali pada percakapan Neko dengan dosen Sastra Inggris itu sendiri, beliau mengatakan bahwa tidak semua kritikus sastra mampu menghasilkan karya sastra yang mumpuni. Sebaliknya, tidak semua orang yang bisa bikin karya sastra, bisa membuat kritik sastra. Sama kayak nggak semua pengamat dan pengritik film bisa bikin film. Tapi alangkah bagusnya kalau kedua hal itu bisa dikuasai. Namun, rupanya Pak Heri tidak setuju dengan hal ini.
Menurut beliau, sebelum diajari soal teori-teori sastra yang mendaki-daki seperti itu, seharusnya seorang pendidik kelas sastra lebih dulu memotivasi para siswanya agar bisa menghasilkan karya sastra. Jangan sampai kelas itu hanya menghasilkan para siswa yang bisanya cuma ngritik tapi nggak bisa bikin karya sendiri. Well, dipikir-pikir argumennya logis banget sih. Karena seharusnya orang yang bisa mengritik adalah mereka yang punya kapasitas dan kapabilitas dalam bidang yang mereka kritik. Jadi kalau kritikus sastra ya logisnya dia harus jago atau paling tidak rutin membuat karya sastra dong. Atau kritikus film, walau belum bisa bikin film (bikin film mahal bleh!) paling tidak dia menguasai ilmu sinetografi dan memang gemar menonton film.
Yang jelas, mengritik tanpa etika dan basic ilmu hanya akan membuat Anda dilabeli sebagai OMDO (Omong Doang) dan NATO (No Action Talk Only). Bahkan bisa-bisa Remy Sylado, sastrawan veteran yang terkenal dengan Kembang Jepun, Ca Bau Kan, dan Kerudung Merah Kirmidzi itu pun akan ikut mencibir, "Memangnya kamu bisa bikin apa?"
Cherio
Mizuki Arjuneko
0 Comment to "(DAS EDITORIAL): DIALOG PENA dan SASTRA: Meng-eufimisme-kan Kata “KRITIK”"
Post a Comment