Wajah Plastisin

Burung terbang ramai ke sarang. Aku juga bergegas terbang pulang. Menjauh dari pelik rapat yang saling serang demi secuil uang. Melesat cepat bersama burung menembus gebyar kota. Sesampai rumah lekas kubersihkan diri, bersolek secukupnya, memakai baju dari web Bajugamisku. Lalu, bersiap berangkat kembali. Sekarang kafe tujuanku. Melemaskan satu lagi masalah di kepala. Ya, masalah denganmu. Aku ingin berdamai dengan takdir ini.

Takdir yang susah kulupakan sejauh tahun-tahun yang sudah berlalu. Terlebih kau memberikan kenangan spesial di perpisahanmu. Di kafe ini. Mana mungkin kenangan itu bisa hilang dengan mudah? Kau memasak seluruh makanan favoritku, menyanyi dengan suara serakmu, dan tak lupa kau mencetak wajahmu pada sebuah plastisin sebagai sebuah hadiah di hari ulang tahunku.

Sumber gambar aliexpress
Apa kau juga masih ingat busana pesta yang kupakai saat itu? Bukankah juga pemberianmu? Aku saja tak bisa melupakan bagaimana kau bertindak layaknya maling. Mengendap-endap ke rumah. Mencoba memasukkan baju ke tas. Hampir saja kepalamu pecah bersama vas bunga. Kalau saja kau tak sadar aku juga mengendap di belakangmu. “Haah..” Aku tertawa. Dari mana pula kau dapat kunci rumahku.

Espressoku hampir habis. Kumainkan teguk terakhir lama di mulutku. Pahit memang. Tapi tak sepahit kepergianmu. Bersama alunan pelan biola di panggung kuambil plastisin dari tas. Selalu kubawa di dalam tas. Namun bukan cetak wajahmu, tak berani melihatnya lagi. Kupandangi plastisin di bawah lampu redup.

Tapi malah ingatanmu yang muncul kembali. Tengah malam pesanmu masuk. “Sorry to say. Berat memang, tapi satu nanti moga bisa ketemu kembali.” Seperti pesawat yang turbulensi keras, semua orang menjerit. Lebih-lebih kau ucapkan hanya lewat pesan pendek. Setelah malam yang membuatku melayang. Belum selesai di situ kau menyiksaku. Kau tambah bahwa akan take off. Pesawat itu sudah tak turbulensi lagi, melainkan jatuh ke jurang lalu hilang.

Aku mencoba menghilangkanmu, tapi juga menantimu. Biola mengalir merdu, membawa sendu hilang bersama not-notnya. Tapi seseorang memotongnya, mungkin bocah yang ingin mengucapkan cinta lagi. “Lebay sekali” Aku merutuki sendiri dalam hati.

Suara serak. Ya, suara serakmu. Itu serak suaramu bukan? Aku mimpi? Kubalikkan badan. Mataku terbelalak. "Ka..ka..kau? Pu..pulang?" Tak menunggu sadar, kakiku lari ke panggung. Sekencang mungkin. Tersandung pun biar. Lekas mengeluarkan plastisin dari tas. Mencetak wajahku sendiri di sana. “Ini...!!! Kau tahu rasanya menyimpannya selama ini?”

Share this

0 Comment to "Wajah Plastisin"

Post a Comment