Bedah karya di FLP Cabang Malang kali ini membahas cerpen Fauziah Rachmawati tentang Ken Dedes, Anusapati, Ken Arok, Tunggul Ametung, dan sebagainya (gak perlu ditulis semua, saking banyaknya nama tokoh dalam cerpen ini). Zie menulis cerpen ini untuk warming up lomba menulis cerita rakyat dari kemendikbud yang deadline-nya 20 Agustus 2015.
Dalam cerpennya yang ke sekian ini, akhirnya kami menjumpai literature leap oleh Zie: beberapa paragraf dalam cerita ini mulai puitis, liris, dan dramatis. Rasa bahasa yang dikenakan untuk menghias paragraf-paragraf itu semacam lamis dan sedikit magis. Halah. Hihi. Tapi iyes, Zie sepertinya mulai bereksperimen dengan deskripsi dan diksi. Awesome!
Masukan kita-kita tentang hal ini adalah: coba lebih distabilkan lagi rasa nyastranya ini di paragraf-paragraf lain juga. Gak harus lebay diksinya, gak harus semuanya bertaburan metafora di sekujur badan cerpen, tapi setidaknya penceritaan dengan teknik dramatik tadi tidak tiba-tiba berubah menjadi penceritaan dengan teknik yang seperti reportase yang seolah-olah ingin membeberkan seluruh fakta riset tentang sejarah yang menyangkut Ken Arok ini.
Ya sih, kadang-kadang kita seperti merasa bahwa yang kita baca, dari hasil riset kita tentang suatu tema, kelihatannya semuanya termasuk poin penting. Boleh jadi. Tapi apakah kita harus menampilkan keseluruhannya, apa adanya?
Sebagai tukang cerita, tentunya kita punya tujuan mengapa kita sejak awal bercerita kan? Apa target kita? Sekedar menghibur pembaca? Ingin pembaca mengetahui suatu fakta sejarah, misalnya? Atau lebih jauh lagi, ingin pembaca menyelami makna hakiki yang terkandung dalam suatu fakta sejarah, misalnya? Bisa saja sih tujuan tersebut dicapai dengan cara lain: dalam analisa-analisa yang esais, mungkin. Tapi dengan cerpen, kesan berat dan serius dalam penyajian sejarah niscaya akan lebih mudah terserap oleh lebih banyak kalangan, tidak sekedar monopoli para akademisi.
Nah, apa yang harus dilakukan dengan segala hasil riset yang tumpah ruah itu dong? Yaa ambil saja seperlunya. Seperti yang sering dinasihatkan oleh para cerpenis senior: tahan dulu, jangan serta merta ingin menyajikan semua hal. Ibarat memasak, ada langkah-langkahnya, pelan, tapi pasti, sampai akhirnya bumbu-bumbu yang sederhana teracik tuntas dan berasa sedap. Jangan langsung tuang semuanya ke dalam panci! Apalagi dalam jumlah yang berlebihan. Duh, kebayang kan bagaimana rasa sop yang kebanyakan kaldu? Malah jadi eneg, kan.
Anyway, dari awal mungkin juga harus dipikirkan oleh pengarang: sudut pandang siapa/apa yang pengen dipakai, tokoh-tokoh sentral (biasanya dalam cerpen tidak banyak tokoh ya, beda dengan novel) yang akan ditulis, konflik biasanya satu atau dua yang saling mempengaruhi (sebaiknya sih pengarang tidak tergoda untuk menjelentrehkan konflik terlalu banyak, apalagi dalam kisah Ken Arok ini buanyak sekali konflik), anti klimaks, yah... pendeknya pengarang kudu nyiapin plot ceritanya lah. (Byuh, pendek jare. Plot itu segalanya, Kak! XP)
Yah itu dia, hasil bedah karya terhadap 'Akhir Perjalanan Ken Arok'nya Zie. Ah iya, judul juga kita sarankan untuk diubah. Selain hal-hal lain di atas tadi, termasuk sudut pandang, tujuan, diksi, konflik, dan banyak lagi.
Akhirul kalam, selamat Zie, udah one step ahead menuju lomba cerita rakyat oleh kemendikbud. Ayo gerombolan FLP-ers Cabang Malang, buruan nuliiisss!!! *cetarrr*
N.B. :
Baca juga tips dari mentor Kelas On Line Menulis Cerita Rakyat dari FLP Pusat untuk bikin cerpen tentang folklore: Kang Alee.
Dalam cerpennya yang ke sekian ini, akhirnya kami menjumpai literature leap oleh Zie: beberapa paragraf dalam cerita ini mulai puitis, liris, dan dramatis. Rasa bahasa yang dikenakan untuk menghias paragraf-paragraf itu semacam lamis dan sedikit magis. Halah. Hihi. Tapi iyes, Zie sepertinya mulai bereksperimen dengan deskripsi dan diksi. Awesome!
Masukan kita-kita tentang hal ini adalah: coba lebih distabilkan lagi rasa nyastranya ini di paragraf-paragraf lain juga. Gak harus lebay diksinya, gak harus semuanya bertaburan metafora di sekujur badan cerpen, tapi setidaknya penceritaan dengan teknik dramatik tadi tidak tiba-tiba berubah menjadi penceritaan dengan teknik yang seperti reportase yang seolah-olah ingin membeberkan seluruh fakta riset tentang sejarah yang menyangkut Ken Arok ini.
Ya sih, kadang-kadang kita seperti merasa bahwa yang kita baca, dari hasil riset kita tentang suatu tema, kelihatannya semuanya termasuk poin penting. Boleh jadi. Tapi apakah kita harus menampilkan keseluruhannya, apa adanya?
Sebagai tukang cerita, tentunya kita punya tujuan mengapa kita sejak awal bercerita kan? Apa target kita? Sekedar menghibur pembaca? Ingin pembaca mengetahui suatu fakta sejarah, misalnya? Atau lebih jauh lagi, ingin pembaca menyelami makna hakiki yang terkandung dalam suatu fakta sejarah, misalnya? Bisa saja sih tujuan tersebut dicapai dengan cara lain: dalam analisa-analisa yang esais, mungkin. Tapi dengan cerpen, kesan berat dan serius dalam penyajian sejarah niscaya akan lebih mudah terserap oleh lebih banyak kalangan, tidak sekedar monopoli para akademisi.
Nah, apa yang harus dilakukan dengan segala hasil riset yang tumpah ruah itu dong? Yaa ambil saja seperlunya. Seperti yang sering dinasihatkan oleh para cerpenis senior: tahan dulu, jangan serta merta ingin menyajikan semua hal. Ibarat memasak, ada langkah-langkahnya, pelan, tapi pasti, sampai akhirnya bumbu-bumbu yang sederhana teracik tuntas dan berasa sedap. Jangan langsung tuang semuanya ke dalam panci! Apalagi dalam jumlah yang berlebihan. Duh, kebayang kan bagaimana rasa sop yang kebanyakan kaldu? Malah jadi eneg, kan.
Anyway, dari awal mungkin juga harus dipikirkan oleh pengarang: sudut pandang siapa/apa yang pengen dipakai, tokoh-tokoh sentral (biasanya dalam cerpen tidak banyak tokoh ya, beda dengan novel) yang akan ditulis, konflik biasanya satu atau dua yang saling mempengaruhi (sebaiknya sih pengarang tidak tergoda untuk menjelentrehkan konflik terlalu banyak, apalagi dalam kisah Ken Arok ini buanyak sekali konflik), anti klimaks, yah... pendeknya pengarang kudu nyiapin plot ceritanya lah. (Byuh, pendek jare. Plot itu segalanya, Kak! XP)
Yah itu dia, hasil bedah karya terhadap 'Akhir Perjalanan Ken Arok'nya Zie. Ah iya, judul juga kita sarankan untuk diubah. Selain hal-hal lain di atas tadi, termasuk sudut pandang, tujuan, diksi, konflik, dan banyak lagi.
Akhirul kalam, selamat Zie, udah one step ahead menuju lomba cerita rakyat oleh kemendikbud. Ayo gerombolan FLP-ers Cabang Malang, buruan nuliiisss!!! *cetarrr*
N.B. :
Baca juga tips dari mentor Kelas On Line Menulis Cerita Rakyat dari FLP Pusat untuk bikin cerpen tentang folklore: Kang Alee.
0 Comment to "Membedah Cerita Rakyat, Menyambut Lomba Menulis Cerita Rakyat oleh Kemendikbud"
Post a Comment