Okewh, karya berikutnya yang terpilih untuk dibedah dan diapresiasi adalah karya Mas Mahbub Ulhaq yaitu opening novelnya yang berjudul "PEMBUNUH BERWAJAH KEKANAKAN". Untuk editor's note-nya kali ini akan Neko serahkan kepada Sensei Mashdar yang lebih expert dalam bidang fiksi. Monggo...
(by Mahbub Ulhaq)
Hari masih begitu muda. Bumi benderang dibalut hamparan cahaya mentari dhuha. Panasnya tidak begitu menyengat namun tak urung menyebabkan tetesan keringat. Sebagian terangnya diserap hijau dedaunan sebagai katalisator mekanisme fotosintesa. Menghasilkan oksigen bagi seluruh mahluk jagat raya. Disediakan secara cuma-cuma, selagi tetumbuhan belum bersinggungan dengan ideologi kapitalis, sebagai perwujudan ibadahnya kepada Allah Sang Maha Pencipta. Sebagian lagi terangnya menelusup melalui sela-sela dedaunan. Serupa lorong cahaya yang jatuh menuju permukaan bumi. Lalu hinggap menyelimut basah rerumputan yang bermandikan embun pagi. Segar seketika menyeruak, menghasilkan optimisme kehidupan penuh warna. Seperti sekumpulan remaja yang sedang berkumpul di lapangan utama SMA Lapan Palembang.
Wajah-wajah mereka masih begitu polos. Dipundak mereka tersampir harapan, menyimpan sejuta potensi untuk masa depan yang lebih baik. Setidaknya begitulah inti pidato pembukaan penerimaan siswa baru yang dibawakan dengan penuh motivasi dan berapi-api oleh Bapak Zainal Abidin, Kepala Sekolah. Semua siswa baru menyimak dengan takzim. Tatapan mata mereka tajam berkilat, seakan ingin mengatakan kepada dunia "INILAH KAMI PASUKAN YANG AKAN MEMBAWA PERUBAHAN DALAM SETIAP SENDI KEHIDUPAN MASYARAKAT! TUMPAS KEMISKINAN! HANTAM KEMELARATAN! HANCURKAN KEBODOHAN!". Idealisme yang begitu tinggi namun masih belum diimbangi pengalaman hidup. Mereka masih akan mudah dibodohi oleh berbagai partai politik. Bersyukurlah mereka belum memiliki hak untuk memilih sampai setidaknya tiga atau empat tahun lagi.
Itulah yang terjadi kemarin. Dan aku ada diantara begitu banyak siswa baru yang memadati lapangan utama. Namun mengenai harapan dan potensi yang dikatakan oleh kepala sekolah aku yakin, haqqul yaqin, bahwa saat itu kepala sekolah bukan sedang membicarakanku. Karena saat ini nyatanya aku sedang terengah-engah kehabisan nafas. Dikejar seorang siswi, yang juga baru, dalam permainan tolol saat orientasi siswa. Aku diberi waktu lima belas menit untuk menghindari kejaran murid baru yang tadi mengenalkan dirinya bernama Navisah. Jika aku tertangkap kurang dari waktu yang telah ditentukan aku akan dihukum bernyanyi di depan begitu banyak murid baru. Mana mungkin aku rela! Aku boleh menghindar kemanapun dengan satu syarat, masih dalam jarak pandang kakak senior.
Kondisi lapangan utama SMA Lapan saat ini disesaki begitu banyak murid baru. Mereka membentuk lingkaran masing-masing sesuai dengan kelompok yang telah dibagi sebelumnya. Setiap kelompok masing-masing terdiri atas lima belas sampai dua puluh murid. Tiap-tiap kelompok dipandu oleh seorang kakak senior yang memberikan permainan untuk masing-masing kelompok. Senior yang memandu kami adalah seorang siswi kelas 3 bernama Puri. Ia memiliki rambut panjang dikuncir kuda. Matanya bundar dan semakin bundar terlapis kacamata yang begitu tebal. Kutaksir matanya mungkin sampai minus empat. Hanya ada dua kemungkinan dengan kacamata setebal itu, Yang pertama ia sangat pintar atau yang kedua ia memiliki gangguan kejiwaan. Aku lebih condong pada pendapat yang kedua. Hanya orang gila yang menyuruh wanita mengejar pria dengan sekuat tenaga.
Lebih gila lagi adalah Navisah. Ia mau saja disuruh mengejarku oleh seorang senior gila. Seakan tujuan hidupnya saat ini hanya untuk menyentuh bagian apapun dari tubuhku. Sesungguhnya semua bisa dimaklumi mengingat jika ia tidak berhasil menyentuhku dalam waktu lima belas menit, maka dialah yang akan menjadi pesakitan di depan anak-anak baru lain, bukan aku. Yang membuatku merinding dan tak habis pikir adalah senyum Navisah. Ia mengejarku tanpa pernah melepas senyum dengan kedua bola mata yang membulat seakan ingin menelanku. Kukira ia sama sintingnya dengan senior gila. Ketika diperintah mengejarku, tawanya menggelegar seakan ia telah betul-betul menikmati permainan bahkan sebelum permainan itu sendiri dimulai. Ia memandangku dengan senyumnya. Tatapannya menyenangkan, namun aku tau dibalik itu bersemayam seorang pembunuh berdarah dingin. Seperti Stephen Norton dalam kisah terakhir Hercule Poirot pada novel curtain, pembunuh yang bersembunyi dalam sorot mata kekanakan. Aku gemetar.
Dan diantara semuanya tentu akulah yang paling gila. Pontang-panting dikejar wanita yang aku sendiri tak begitu kenal kecuali namanya. Terengah-engah, namun aku terus berlari. Tak kupedulikan keringat yang mengucur deras. Kusingkirkan apapun yang menghalangi jalan. Hanya satu tujuan, berlari sekuat tenaga menghindari pembunuh berwajah kekanakan. Aku berlari serupa orang gila. Sebagian siswa-siswi tertawa cekikikan menunjuk-nunjuk kami. Siswi perempuan menyemangati Navisah, siswa laki-laki juga menyemangati Navisah. Tinggallah saat itu aku sendiran seolah melawan seluruh penduduk dunia. Sebagian siswa tak peduli dengan apa yang terjadi pada kami. Mereka juga punya masalah di kelompok mereka sendiri yang harus diselesaikan, sama seperti kami.
Aku masih belum tertangkap. Sekali-kali aku menoleh untuk menilai situasi. Setelah sekian tolehan tak kulihat ada Navisah disana. Aku masih terus berlari. Kutoleh lagi dan benar tak ada. Kuturunkan kecepatan lari dan saat kuyakin tak ada Navisah, aku berhenti persis di depan salah satu dinding kelas yang saat itu tengah kosong. Begitu kosongnya seakan tak pernah ada tanda-tanda kehidupan. Kalaulah bukan ruang kelas, aku yakin ada setan yang bersemayam disitu. Menyaksikan sekumpulan remaja-remaja dalam permainan dunia. Menunggu saat yang tepat untuk memangsa mereka. Terasa ada aliran udara yang lembut, bulu kudukku berdiri.
Kutengokkan kepala ke kiri dan ke kanan, melihat-lihat kalau ada siluet Navisah di dekat-dekat situ. Tak kutemukan. Nafasku berkejaran, Aku menekan kedua lutut dengan tapak tangan seperti posisi ruku'. Sistem pernafasan bekerja lebih berat dari biasanya. Tubuhku membutuhkan pasokan oksigen yang banyak untuk membakar energi yang tadi kugunakan berlari menghindari kejaran Navisah. Masih pada posisi yang sama, aku memandang jauh ke arah tempat dimana tadi kelompokku berada. Puri bergantian melihat ke arahku dan melirik arloji yang melingkar di lengannya. Dia belum memberikan tanda permainan telah selesai. Tak kulihat juga Navisah disana. Aku harus berhati-hati.
Aku berbalik dan berjalan gontai namun tetap penuh kewaspadaan. Saat itulah tiba-tiba dari dalam kelas yang kosong meluncur sesosok mahluk. Berkelebat. Menjerit histeris menepuk pundakku. Aku terlonjak kaget dan terjengkang jatuh terduduk di lantai. Jantungku berdetak cepat berkejar-kejaran susul menyusul. Ada setan! Kelas ini ternyata memiliki "penghuni". Sejak pertama aku melihat kelas ini aku seharusnya tau. Bulu kuduk tak mungkin menipu. Tawanya melengking menakutkan. Aku bahkan tak berani memutar kepalaku untuk melihat sosoknya. Aku merangkak menjauh. Tubuhku bergeletar menyingkirkan keberanian. Yang tertinggal hanya perasaan takut. Aku berharap saat itu aku pingsan saja, hilang kesadaran. Agar tak perlu aku melihat wajah mengerikan setan yang saat ini sedang berdiri dibelakangku. Bersiap membawaku menemaninya ke alam kubur.
Tanpa kusadari seisi sekolah memperhatikan tingkahku. Menunjuk-nunjuk kepadaku dan tertawa. Siswi perempuan tertawa cekikikan menutup mulutnya dengan tangan sembari berkumpul dan berbisik satu sama lain melirik ke arahku. Siswa laki-laki tertawa terbahak menunjuk ke arahku. Bahkan ada yang sambil memegang-megang perutnya tak kuasa menahan tawa yang terus berderai.
Tawa setan yang berdiri di belakangku semakin menggelegar. Lalu aku menyadari sesuatu. Tawa setan itu seolah tak asing. Kukumpulkan keberanian yang tadi telah tercerai berai, perlahan aku memutar kepala dan melihat kebelakang. Lalu disanalah kulihat ia berdiri dengan tawanya yang persis sama. Navisah yang tersenyum penuh kemenangan
Malang, 1 September 2011
Editor's Note:
Maap, ketika saya mulai membaca di paragraph awal, saya merasa bahwa openingnya terlalu banyak menggambarkan keadaan bahkan mendekati “berlebihan” sehingga saya sebagai pembaca merasa sediti jenuh, ibaratnya kalau dlm sebuah film, ini adalah adegan 1 scene, tapi tuturannya seabrek. Ada juga beberapa kalimat yang saya rasa tidak perlu dipaparkan seperti,
“Sebagian terangnya diserap hijau dedaunan sebagai katalisator mekanisme fotosintesa. Menghasilkan oksigen bagi seluruh mahluk jagat raya. Disediakan secara cuma-cuma, selagi tetumbuhan belum bersinggungan dengan ideologi kapitalis, sebagai perwujudan ibadahnya kepada Allah Sang Maha Pencipta”
Nah kalimat di atas sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa dari opening, malah sebagai pembaca saya seperti sedang menyimak perkuliahan biologi botani haha…
Untuk berikutnya, adegan demi adegan mulai MOS dan permainan permainannya saya cukup menikmati, saya bias membayangkan bagaimana riuhnya, bahkan di beberapa kalimat saya merasa surprise, ada semacam tuturan jenaka yang cukup menghibur seperti:
“Ia memiliki rambut panjang dikuncir kuda. Matanya bundar dan semakin bundar terlapis kacamata yang begitu tebal. Kutaksir matanya mungkin sampai minus empat. Hanya ada dua kemungkinan dengan kacamata setebal itu, Yang pertama ia sangat pintar atau yang kedua ia memiliki gangguan kejiwaan. Aku lebih condong pada pendapat yang kedua.”,
Hanya saja dari segi bahasa saya merasa masih kurang matang. Cukup bisa dinikmati akan tetapi kurang matang. Mungkin Mas Mahbub harus mencari perbandingan dalam novel lain, mulai dari cara tutur adegan dsb.
Yang terakhir mengenai judul, “PEMBUNUH BERWAJAH KEKANAKAN”, saya sendiri tak tahu apakah ini judul novel atau judul BAB dalam novel. Tapi jika itu judul sebuah novel, saya merasa judul itu sangat kurang menarik, entah kenapa, mungkin karena, dalam bayangan saya judul itu sedikit sulit di eksplorasi, barangkali kalau pun jadi sebuah novel saya malah membayangkan novel itu akan sangat tipis atau berseri semacam Sherlock Holmes atau Conan, yang berbau detektif gitu.
Lagi, mengenai opening, berkaitan dengan judul, saya masih bingung juga, apakah kata “pembunuh berwajah kekanakan” itu cuma sebuah kalimat kiasan, atau memang pembunuh dalam arti sebenarnya: menghilangkan nyawa tokoh lain. Well, barangkali pertanyaan ini akan di jawab setelah novelnya jadi hihihi…
Entahlah… itu cuma sedikit telisik saya, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan mohon maaf… kita sama-sama belajar…
Mashdar Zainal.
Neko Said:
Setuju banget ama Mashdar. Wis, nggak salah deh si Sensei diserahi mengasuh rubrik DAS Fiction. Komen-komennya tepat sasaran semua. Tadinya Neko juga mengira novel ini tentang pembunuhan yang berdarah-darah, begitu melihat judul. Tapi ternyata kok tentang MOS ya? Atau Mas Mahbub sedang memainkan pikiran pembaca dengan pembuka novel ini ya? Hehehe...ditunggu deh lanjutannya. Berdasarkan komentar dari Mas Mahbub sendiri, Neko juga bisa mengendus aroma-aroma deskripsi ala Laskar Pelangi di sini... Hanya saja...umm kalau di postingan sebelumnya ketika DAS membahas karya Mbak Zie, Neko sempat mengritik karya itu karena kebanyakan dialog dan tidak mengeskplorasi narasi deskripsinya, pembuka novel Mas Mahbub ini justru NGGAK ADA DIALOGNYA!
Hmm...nggak salah juga sih. Toh Mas Mahbub udah cukup lincah dalam mengolah narasinya. Tapi perlu diketahui bahwa fungsi dialog dalam cerita fiksi adalah untuk menghidupkan suasana. Tentunya memang perlu kejelian untuk menempatkan dialog dan narasi pad porsi yang pas. Karena jika terlalu banyak deskripsi narasi tanpa diimbangi dengan dialog yang lincah dan cerdas, cerita bisa terkesan mati.
Seperti pada adegan ketika si tokoh utama dikejar Navisha, di sana Neko rasa mungkin bisa ditambahi sedikit dialog eksklamasi/kata seru dari Navisha seperti, "Ha! Kau boleh saja terus lari sampai ke ujung dunia, boi! Larilah! Sampai lari ke liang kubur pun, aku tak akan melepaskanmu!"
Lalu si tokoh utama bisa menjerit jengkel, "Dasar gadis gila!"
Well, seperti itu mungkin... Atau dialog lain yang lebih pas dan cocok untuk membangun ketegangan sekaligus kelucuan adegan di atas.
Neko langsung baca abis ni novel dalam semalam
|
Neko pernah baca sih satu novel yang hampir full akan narasi, alias minim dialog, tapi anehnya sama sekali nggak membosankan dan justru terasa hidup. Karena narasi deskripsinya sendiri sangat lincah. Buat Neko teknik ini sangat langka sekali. Atau Neko aja yang kurang referensi kali ya. Novel itu adalah novel terjemahan dari Jepang berjudul Botchan.
Teknik narasi yang digunakan juga persis seperti yang digunakan oleh Mas Mahbub di atas, atau novel Laskar Pelangi, Sudut Pandang Orang Pertama (1st Person POV). Jadi narasinya sendiri menggambarkan isi hati sang tokoh utama. Agaknya teknik narasi memang lebih pas disandingkan dengan 1st Person POV, bukannya 3rd Person POV. Jadinya seperti diari begitu.
Yah begitu aja deh komen dari Neko. Keep your spirit The Ulhaq! Hehehe. NB: Mbak Zie punya novel di samping kok.
Profil Penulis
Pria asal Palembang ini untuk sementara ini berdomisili di Malang untuk menyelesaikan S1nya di Universitas Brawijaya. Bergabung di FLP Malang melalui jalur Writing School, jadi anggota baru yang eksklusif begitu hehehe... Lelaki penyayang yang sudah memiliki seorang istri muda yang cantik dan dua anak yang imut-imut.
Merupakan sosok yang sangat serius dan konsisten dalam mempelajari ilmu kepenulisan. Neko kebetulan satu tim dengan Mas Mahbub dalam proyek novel estafet dan untuk saat ini, beliau memegang rekor sebagai anggota tercepat yang memenuhi target 5 halaman untuk seminggu (hiyaaa ketahuan deh kalo yg lain suka molor)
Simak tulisan-tulisannya yang tidak kalah renyah dengan tulisan di atas dalam blognya: http://ruangmahbub.multiply.com/ dan http://www.babusekaki.blogspot.com/
0 Comment to "(DAS FICTION): Opening Novel Pembunuh Berwajah Kekanakan"
Post a Comment