(DAS EDITORIAL): Teori Resepsi, Metamorfosa Karya Sastra (revised edition)

 A. Teori Resepsi dan Intertekstualitas (Prelude)

Yak ketika Neko untuk pertama kalinya duduk bersama para brondong angkatan 2011 di kelas Teori Sastra yang dipegang Pak Karkono dari Jurusan Sastra Indonesia, Neko langsung disuguhi dua nama teori di atas. Jujur saja, karena pernah nggak mudeng dan akhirnya dapat nilai aib pas Neko mengikuti mata kuliah ini di jurusan Neko, Neko agak alergi sama yang namanya –isme-isme. Tadinya satu-satunya yang Neko tahu dari mata kuliah Teori Sastra yah…mata kuliah yang full of isme-isme ini. Ada formalisme, strukturalisme, post-modernisme, feminisme, dan Neko cuma tahu sekedar nama…doang! Kalau ditanya makanan apa sih nama-nama aneh di atas? Jawabannya: Meneketehe? Apalagi, apaan tuh resepsi? Setahu Neko “resepsi” itu ya sama dengan “kondangan”. Hrr… Neko pernah mencoba membuka Wikipedia dan yang tertulis di sana benar-benar nggak membantu. Tahu sendiri serumit apa gaya bahasa Wikipedia dalam bahasa Inggris itu.  Dan dasar Neko sama sekali nggak punya background knowledge tentang isme-isme di atas, makin blank-lah Neko. 
"Allahuakbaaar!!! Anda itu ngomong apa seh??? Pakek bahasa kucing dooong!"
(kira-kira beginilah tampang Neko saat dosen Neko dulu  mulai ngomongin isme-isme yang bejibun tapi absurd itu...)
Bagaimana dengan buku teksnya? Huff…udah fotokopian, tulisan kecil-kecil dengan model ketikan, nggak ada gambar-gambar lucunya, ditulisnya pakai bahasa Inggris semua pulak! (Jdhang! Ya iyalah dhodhooll…emang kamu pikir kamu sedang kuliah di jurusan apaa???)
Nah, apakah jika mata kuliah ini disajikan dalam bahasa Indonesia lalu materinya bisa diterima oleh otak Neko yang super simple ini?
Neko saat berusaha menyimak penjelasan dosen Literary Theory
(Inilah yang dimaksud dengan 'tidur dengan mata terbuka' haahaha)
Hm…yang jelas kali ini dalam mengantarkan para mahasiswanya untuk memahami materi mata kuliah, sang dosen lebih sering menjelaskan tiap-tiap teori dengan contoh-contoh karya sastra yang sudah dikenal para mahasiswanya seperti, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Perempuan Berkalung Sorban, dan baladewanya. Akhirnya itu yang bikin anak-anak di kelas termasuk Neko menjadi lebih bergairah dalam mengikuti diskusi-diskusi yang ada. Semua orang juga pasti akan lebih bersemangat ketike membicarakan hal-hal yang mereka tahu kan? Dosen Neko yang dulu tentu saja bersemangat memberikan kuliah, karena jelas ia menguasai materinya di luar kepala. Tapi bagaimana dengan Neko yang saat itu datang ke perkuliahan hanya dengan modal pantat? =_=” Hufff…
So, apa sih intertekstualitas itu? Dan apa hubungannya teori resepsi dengan kondangan? Apakah teori resepsi itu adalah teori tentang trik-trik menghadiri resepsi seperti cara jitu untuk mencicipi semua hidangan prasmanan tanpa dibilang “nggragas”? Hahaha…sebelum Neko semakin ngaco…(efek insomnia ternyata segeje ini, Saudara), berikut contoh simple  yang diberikan oleh Bapak dosen kepada kami:
Adaptasi dari novel Ayat-Ayat Cinta menjadi Film Ayat-Ayat Cinta yang diperankan Fedi Nuril dan Riyanti Catwright itu berhubungan dengan teori resepsi. Sedangkan ketika ada sebuah teks klasik nan legendaris “PANJI INUKERTAPATI”, yang kemudian menjadi model atau inspirasi beberapa cerpenis jaman sekarang untuk membuat cerita cross-over, dengan seting dan tokoh sama, tapi dengan sudut pandang yang berbeda, dan hasilnya menjadi cerita yang memberikan ‘rasa’ yang berbeda pula, itu baru berhubungan dengan teori intertekstualitas.
 VS


 Adaptasi novel AAC ke dalam format layar lebar dianalisa dengan memakai TEORI RESEPSI


Lukisan Pangeran Panji Inukertapati mencari istrinya yang hilang, Dewi Sekartaji. Cerita Panji adalah epik terbesar dalam kutur folklore Jawa. Cerita ini sudah memiliki banyak versi (Bali, Jawa, Kalimantan), bahkan sampai ke mancanegara (Myamnar, Filipina, Thailand, dan Kamboja). Varian cerita ini sangat banyak di antaranya Ande-Ande Lumut dan Keong Mas. Cerita Panji ditampilkan dalam berbagai media seperti tari tradisional, dan wayang orang. Banyak sastrawan Indonesia jaman sekarang yang terinspirasi untuk membuat cerita dengan model Cerita Panji. Karya-karya inilah yang kemudian dimasukkan dalam ranah intertekstualitas.
.

Lukisan Bali yang menggambarkan Pangeran Panji bertemu dengan 3 perempuan di hutan

Keterkaitan teks Lakon Cerita Panji dengan teks-teks lain seperti Keong Emas, Ande-Ande Lumut, atau cerpen-cerpen masa kini dianalisa dengan menggunakan TEORI INTERTEKSTUAL

B. Contoh-contoh Hasil Resepsi

Untuk contoh yang pertama, Neko pikir udah lumayan jelas maksudnya. Teori resepsi banyak berhubungan dengan proses adaptasi satu karya sastra ke karya baru atau karya dengan menggunakan media penyampaian yang baru. Contohnya seperti adaptasi dari novel ke film (Ayat-Ayat Cinta, Harry Potter, Eragon, etc), film ke novel (Naga Bonar Jadi 2, Biola Tak Berdawai, Brownies, etc)game ke film (Tekken, Street Fighter, Final Fantasy The Spirit Within, Advent Children, Silent Hill), novel ke komik (5cm, Anak Kos Dodol, Kambing Jantan), dan lain-lain. Dalam adaptasi jenis ini, konsumen sudah mengetahui secara jelas bahwa beberapa karya tersebut adalah karya yang berasal dari sumber yang sama, hanya media penyampaiannya saja yang berbeda. 


 Kalau Harry Potter, bukunya ada lebih dahulu, baru kemudian dibuat filmnya...
Kalau di dalam negeri...prosesnya bisa terbalik...

 Film Nagabonar Jadi 2 dibuat lebih dahulu, baru kemudian konsep bukunya dibuat. Dua-duanya menawarkan jalinan cerita yang memikat dari sudut pandang yang berbeda. Film Naga Bonar memakai third person view, sedangkan novelnya memakai sudut pandang orang pertama, yaitu Naga Bonar itu sendiri. Hasilnya, ada beberapa adegan yang tidak diceritakan di film, tapi ada di novel. Seru kan? Bedanya lagi, kalau pas nonton filmnya, Neko ngakak-ngakak, pas baca bukunya, baru bab awal Neko udah dibuat mewek...


 Nggak semua adaptasi, melulu dari novel ke film dan sebaliknya. Ada juga yang dari novel ke komik, dan lain sebagainya...
 

Neko belum baca novelnya tapi langsung beli komiknya coz ngefans ama komikusnya...Hehehe Novelnya jauh lebih mahal euy! (Komiknya aja 45 rebong, tapi worthy lah) Nabung dulu deh, atau ada yang minat minjemin? Hihihi
Judul karya pra dan pasca adaptasi pun biasanya sama, atau kalaupun beda, tetap membawa judul asli karya yang diadaptasi (misalnya Final Fantasy VII: Advent Children, yang diadaptasi dari game berjudul Final Fantasy VII…doang.)

 Nah, pada paragraf-paragraf di atas, Neko sudah berusaha memaparkan contoh-contoh hasil produk dari teori resepsi. Lalu konsep dasarnya sendiri apa? (Ceritanya pakai metode penyimpulan induktif nih hehehee)

C. Resepsi sama dengan Kondangan

Kalau Pak Karkono, menjelaskan konsep dasarnya sebagai berikut:

"Resepsi adalah bentuk interaksi pembaca 
dengan karya sastra."

Dan konsep inilah yang seharusnya dipahami lebih dahulu, sebelum kita berbicara panjang lebar dan membandingkan hasil adaptasi karya sastra dengan karya sastra aslinya, seperti contoh-contoh di atas.

Maksudnya gimana nih?

Hmm...seperti yang sudah Neko sering singgung di beberapa editorial yang lalu, karya sastra itu baru bisa dikatakan hidup dan bermakna ketika karya itu telah dibaca dan terlebih jika mendapat tanggapan dari pembacanya. Maka jika ada seseorang yang hanya menyimpan karya-karyanya sendiri karena alasan 'minder', 'malu', atau 'isin', sama saja dia membunuh hasil karyanya sendiri dengan menjadikannya sebagai artefak mati belaka (ayolah...narsislah dikit. Narsis positif ini..hehhee). Dan tentu saja karena kalangan pembaca sastra itu beragam, cara mereka memahami dan menanggapi karya sastra pun berbeda. Walaupun, karya sastra yang dibaca itu sama.



Misalnya, satu novel Ronggeng Dukuh Paruk, sudah menjadi bahan skripsi sejuta umat. Sumbernya sama, tapi hasil analisa dan interpretasi setiap orang, jelas beragam. Bahkan seperti yang sudah disampaikan Pak Karkono beberapa waktu lalu, sering hasil tanggapan orang-orang itu jauh lebih heboh daripada isi karya sastra itu sendiri. Satu karya yang sama bisa menjadi sumber perdebatan panjang di ruang-ruang kelas perkuliahan, atau forum-forum diskusi internet. Dan semakin banyak yang membahas dan menanggapi karyanya, semakin bahagialah seorang penghasil karya sastra. Itulah menariknya dunia kritik sastra hehehe... (Sayangnya hal ini terkadang malah membuat teori-teori sastra dan fenomena sastra yang seharusnya simple dan mudah dipahami itu menjadi terkesan rumit =( Seolah menjadi intelektual ini berarti sama dengan mahir berbicara dengan bahasa alien... Sama seperti kata seseorang yang pernah Neko baca di dalam buku, "Saya lebih bisa memahami hasil tulisan Socrates sendiri, daripada ketika membaca hasil tulisan orang-orang yang membahas tentang filsafat Socrates...)

Pernah nggak sih dengar ada penulis yang berdiplomasi seperti ini? "Untuk interpretasi karya, saya serahkan sepenuhnya pada imajinasi para pembaca," biasanya kemudian akan diembel-embeli ungkapan seperti ini, "Bagi saya personal, karya ini hanyalah ungkapan kebebasan berekspresi dan berimajinasi."
Cieeeee...gaya banget getooooowh hehehe. Tapi yah memang seperti itulah adanya. Ketika sebuah karya sastra telah sampai di tangan pembaca, maka tercapailah misi pengarang (paling tidak untuk tahapan pertama. Jika kemudian pengarang mau merevisi atau membuat karya sekuel atau prekuel berdasarkan permintaan pembaca, bisa saja. Berarti sang penulis ingin menindaklanjuti karyanya.). Pengarang tidak bisa mendikte pembaca begitu saja. Terserah pembaca mau memaknai sebuah karya seperti apa. Misalnya, beberapa kalangan menganggap novel Ayat-Ayat Cinta hanya menjual mimpi, karena tokoh Fahri digambarkan begitu sempurna, nyaris tanpa cacat, bagai malaikat berbentuk makhluk alam hayat. Tapi kalangan sastrawan yang sering menghasilkan karya-karya Islami justru membela karya ini dengan mengatakan, "Ayat-Ayat Cinta adalah oase di tengah kelesuan karya-karya Islami yang mulai tergeser oleh sastra-sastra yang berani mengangkat masalah seksualitas dengan vulgar." Sah-sah saja kan? Menurut Neko, karya yang bagus adalah karya yang bisa membebaskan pemikiran pembaca =)

 
Balik ke topik, salah satu contoh hasil interaksi pembaca dengan sebuah karya yang bisa menghasilkan karya lain: film GIE. Mira Lesmana terinspirasi dengan Buku Harian Seorang Demonstran yang merupakan memoar almarhum Soe Hok Gie. Kemudian produser film-film berkualitas itu menghubungi Riri Riza dan mempromosikan buku itu.  Sutradara sekaligus penulis skenario itu lalu menghasilkan skenario film GIE berdasarkan interaksinya dengan buku memoar itu. Terlepas dari kenyataan bahwa Nicholas Saputra terlalu ganteng untuk memerankan seorang Gie (ha...ha...ha...) dan beberapa kritik lain terkait dengan faktualitas sejarah, film itu mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan. Riri Riza dan Mira Lesmana pun melakukan proses kreatif yang hampir serupa terhadap novel Laskar Pelangi. Mereka  menerjemahkan novel itu ke dalam bentuk skenario lalu beserta seluruh kru, menghidupkan karya epik pendidikan itu melalui media audio-visual. Itulah hebatnya orang-orang kreatif. Mereka sanggup mengambil pelajaran dan menghasilkan karya baru dari karya-karya yang terdahulu. Dan langkah pertama yang bisa kita tempuh untuk menjadi orang-orang di atas adalah dengan menjadi pembaca kritis dan aktif =)

Tidak heran jika kemudian hasil adaptasinya memiliki ‘rasa’ yang benar-benar baru seperti penambahan plot cerita (penambahan plot masalah poligami dalam film AAC yang tidak terlalu disorot dalam film), perbedaan sudut pandang (Novel Naga Bonar diceritakan dengan memakai sudut pandang Naga Bonar sebagai “aku”, sedangkan novel Brownies memakai sudut pandang “aku” sebagai ‘cita rasa’ yang terkandung dalam sepotong Brownies yang dimasak dengan penuh cinta dan ketulusan.) Bisa juga merupakan lanjutan dari karya yang sebelumnya atau sequel dan itu juga berarti penambahan tokoh karakter yang tidak ada di versi aslinya (Final Fantasy VII: Advent Children yang mengambil seting waktu dua tahun setelah peristiwa di ending game-nya. Di sini bertebaran tokoh-tokoh yang tidak pernah muncul di versi game-nya.). Contoh yang terakhir ini juga bisa dilihat dari hasil interpretasi Tim Burton dalam film Alice in Wonderland yang dibintangi Johnny Depp (memerankan tokoh Mad Hatter). Keren seperti cerita aslinya? (menurut Neko sih) Iya. Sama persis dengan cerita aslinya? Tunggu dulu...

Lagian wajarlah kalau versi film dan versi asli dibikin agak berbeda. Kalau sama persis dan ngeplek buat apa merogoh kocek untuk nonton hasil adaptasinya di bioskop? Mending enak-enak di rumah, tiduran sambil baca karya aslinya dan kalau pingin lihat visualisasinya tinggal download bajakannya di net...hehehe PLAK!
Final Fantasy VII classic, versi game. Gaya gambarnya kartun anime banget.
Versi berikutnya. Tokoh kebanyakan masih sama, tapi grafis lebih real. Beberapa karakter baru di tambahkan di sini
Tidak hanya penambahan, bisa jadi hasil adaptasi justru mengurangi beberapa elemen karena masalah teknis, misalnya tidak mungkin kan keseluruhan adegan novel Laskar Pelangi yang jumlahnya 400 lembar lebih itu bisa difilmkan semua dalam pita seluloid yang hanya berdurasi sekitar  2 jam kurang? Nah kemudian, kami semua pun diperkenalkan pada satu istilah baru: EKRANISASI. Ekranisasi adalah adaptasi karya sastra ke dalam media berupa film. Nama lainnya bisa menjad sinemanisasi, atau filmisasi. Tapi yang lebih populer di kalangan peneliti sastra adalah istilah EKRANISASI. Untuk konsep ini, akan Neko bahas di editorial selanjutnya.
Nah, biasanya masalah mirip-tidaknya hasil film adaptasi dengan karya yang diadaptasi inilah yang menjadi perdebatan di kalangan fans. Banyak kalangan fans fanatik yang justru tidak rela ketika naskah asli suatu karya sastra diadaptasi ke dalam bentuk media yang lain, paling sering ya dari novel ke film. Alasannya karena bisa jadi film tersebut akan merusak imajinasi pembaca atau tidak sanggup memvisualisasikan imaji dalam novel tersebut secara sempurna. Kadang, konflik juga terjadi di antara penulis karya sastra yang diadaptasi dengan pihak pembuat film. Di sini idealisme masing-masinglah yang berbicara. 

Rachmania Arunita, sukses sebagai penulis novel dan skenario
Penulis umumnya memegang teguh ideologi dan alasan penciptaan karyanya. Sedangkan pihak produksi film umumnya lebih mengedepankan ideologi material atau profit (karena proses pembuatan film lebih melelahkan dan lebih memakan biaya). Contohnya kekecewaan Habiburrahman El Shiraizy dengan film adaptasi Ayat-Ayat Cinta (telepas dari film itu menjadi mega box-office) karena Hanung menggambarkan beberapa adegan seperti seorang akhwat yang sampai membuka jilbab ketika kecewa dengan seorang lelaki, dan adegan Aisyah yang memperlihatkan rambutnya, lalu masih banyak lagi. Karena itulah Habiburrahman kemudian mempercayakan adaptasi film dari novel selanjutnya, Ketika Cinta Bertasbih, kepada Chaerul Umam. Karena permasalahan ideologi yang dipegang teguh seperti inilah banyak penulis novel yang akhirnya memilih menulis sendiri skenario adaptasi novelnya dan akhirnya sukses! Contohnya adalah Rachmania Arunita, penulis novel dan skenario film Eiffel I’m in Love. 
Banyak juga penulis yang walaupun tidak menulis sendiri adaptasi skenarionya tapi ikut mengontrol ketat proses penulisan draft script dan seleksi pemeran filmnya. Contohnya ya J.K. Rowling yang mensyaratkan semua tokoh Harry Potter diperankan aktor-aktris asli Inggris, dan Habiburrahman El Shiraizy yang mengontrol ketat sampai ke masalah apakah pemeran Azam sudah sholat tepat waktu atau tidak ketika menjalani proses syuting. Demi fans dan terutama mempertahankan prinsip dibuatnya suatu karya sastra, semua itu sah-sah saja. Sedangkan bagus tidaknya kualitas hasil akhir suatu proses adaptasi, pasarlah yang akan menjawab. Selain pasar, festival-festival film bergengsi seperti Academy Award, Golden Bear, Cannes Festival, dkk-lah yang juga ikut berbicara. Karena perlu diingat bahwa tidak semua film yang bagus secara kualitas sukses di pasaran. 
Nah, kalau perdebatan seputar teori resepsi biasanya berkutat di masalah perbandingan hasil adaptasi karya sastra dengan karya sastra yang diadaptasi, maka perbincangan mengenai teori intertekstualitas secara pribadi Neko anggap lebih seru, tidak ada habisnya dan sering…lebih mbulet lagi! (yang mbulet bukan teorinya, tapi perdebatannya) Masalahnya yang kerap kali bersinggungan dengan konsep ini adalah tuduhan PLAGIARISME dan isu ORISINALITAS. Nah loh??? Daripada kepanjangan dan akhirnya malah pusing karena melihat kebanyakan teks, marilah rehat sejenak. Neko akan berusaha meneruskan pembahasan ini insyaallah pada beberapa artikel editorial selanjutnya yang akan bertema:
INTERTEKSTUALITAS VS ORISINALITAS

 bersambung

Share this

1 Response to "(DAS EDITORIAL): Teori Resepsi, Metamorfosa Karya Sastra (revised edition)"

  1. Belajar bingit akuh. Ada lanjutannyakah tentang intertekstualitas? Kalo ada bukunya aku pinjem dong, Put?

    ReplyDelete