(DAS ESSAY): Muntah Lalu Mual...

by Agie Botianovi
Marah, dongkol, sekaligus bertanya-tanya, “Apakah Bu guru itu tidak punya anak juga di rumah? Bagaimana jika anaknya diperlakukan seperti itu? Apakah memang begitu cara mendidik yang baik?”
Sebagai seorang yang tidak berkecimpung dan mempelajari dunia kependidikan, pertanyaan-pertanyaan itu jelas muncul di dalam diri saya. Saya yang salah mengartikan cara guru itu atau saya yang memang kurang memahami bagaimana cara mendidik anak yang baik?
Tempo hari, saat saya masih tinggal serumah dengan orang tua saya, cerita dari Ibu saya membuat saya sedikit marah, mangkel, dan ada rasa tidak terima. Adik saya yang masih kelas 5 SD tiba-tiba sakit di sekolah, saat jam pelajaran akan segera berakhir. Tanpa adik saya inginkan, dia muntah-muntah mengeluarkan isi perutnya. Sakit memang tidak pernah bisa kita duga kapan datangnya, bahkan di saat Bulan Puasa seperti ini.
Tapi bukan itu, bukan itu yang membuat saya jengkel dan gondok. Dari cerita Ibu saya juga saya mengetahui setelah adik saya muntah-muntah, dalam kondisi yang masih belum cukup sehat, adik saya disuruh oleh gurunya mengepel bekas muntahannya. Kejadian ini menurut Ibu disaksikan sendiri oleh ayah saat menjemput adik yang memang sudah waktunya pulang. Saat ayah datang, kegiatan adik saya mengepel muntahan itu pun diteruskan oleh ayah saya. Itulah yang membuat saya bertanya-tanya tentang cara guru itu mendidik.
Kejadian ini mengingatkan saya pada kejadian sekitar 8-9 tahun silam, saat saya masih memakai seragam putih biru. Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMP, pelajaran Olahraga saya lewati dengan kondisi tubuh yang kurang fit, rasanya badan saya jadi panas dingin dan kepala pusing, dan benar saja, saya langsung meminta ijin untuk tidak melanjutkan pelajaran, ke UKS untuk sekedar rebahan. Tak lama, entah apa yang terjadi, cairan-cairan berasa pahit dan berwarna kuning itu keluar dari mulut saya, yang  saya keluarkan begitu saja, tercecer di lantai bawah dipan. Saya masih sadar, hanya pusing, mungkin seperti apa yang adik saya alami. Tapi yang terjadi berikutnya bertolak belakang dengan yang terjadi dengan adik saya. Saya masih sangat ingat, waktu itu guru fisika yang juga guru UKS mengepel muntahan saya. Walau sedikit tidak enak, tapi apa daya, kondisi sayapun masih lemah.
Dari kedua kejadian itu, saya jadi berpikir, “Manakah sebenarnya cara mendidik yang benar?” Tapi jika saya sendiri menjadi gurunya, maka saya akan menjadi seperti guru SMP saya saja. Hehe…
 Monday, September 5, 2011 at 6:41pm
Editor’s Note:
Yak setelah beberapa hari lalu, Neko mengupas mini essay dari Pak Day, sekarang giliran karya sang Istri yang dibahas hehehehe…biar adil gitu. Asyik ya, suami-istri sama-sama penulis. So sweet.  Singkat aja, Neko suka banget dengan tema dan cerita yang dituliskan Agie di atas. Kisah nyata di atas mungkin bisa dibilang sebagai kasus yang kecil, tapi patut mendapat perhatian dari kita.
            Satu potret nyata dalam dunia pendidikan kita. Bagaimana mungkin guru yang tidak punya kepekaan sosial seperti itu bisa lulus tes keguruan? Kepada para murid, dan orangtua murid, sudah lama digembar-gemborkan mengenai teori pentingnya mengembangkan EQ atau kecerdasan sosial. Agaknya tidak hanya para murid dan orangtua saja yang wajib mencermati teori tersebut, tetapi juga para guru. Tugas guru saat ini tidak hanya didefinisikan sebagai pengajar saja, tapi juga pendidik. Artinya guru benar-benar harus bisa di-gugu dan di-tiru tidak hanya dari aspek kognitifnya saja, tapi juga moral, kepekaan sosial dan empati juga merupakan salah duanya.
Saran untuk Agie: menurut Neko, Agie terlalu banyak menggunakan kata “saya” dalam satu kalimat. Misalnya:
“Tempo hari, saat saya masih tinggal serumah dengan orang tua saya, cerita dari Ibu saya membuat saya sedikit marah, mangkel, dan ada rasa tidak terima”

Bagaimana jika kalimat itu diubah agar lebih efektif menjadi seperti ini:
“Tempo hari, saat saya masih tinggal serumah dengan orang tua, ada cerita dari Ibu  membuat saya sedikit marah, mangkel, dan ada rasa tidak terima.”

Juga dalam kalimat Agie yang seperti ini:
“Dari cerita Ibu saya juga saya mengetahui setelah adik saya muntah-muntah, dalam kondisi yang masih belum cukup sehat, adik saya disuruh oleh gurunya mengepel bekas muntahannya.”

Coba kita modifikasi sedikit menjadi seperti ini:
“Dari cerita Ibu, juga saya mengetahui setelah adik muntah-muntah, dalam kondisi yang masih belum cukup sehat, dia disuruh oleh gurunya mengepel bekas muntahannya.”

Intinya dalam memilih kata ganti pun perlu variasi, dan meminimalisir pengulangan kata ganti yang tidak perlu. Toh, pembaca juga pasti tahu bahwa adik dan ibu yang dimaksud adalah adik dan ibu dari Agie atau si-“saya” sendiri. Bukan adik atau ibunya orang lain. Hehehehe…
Kemudian, coba kita cermati kalimat berikut ini:
“Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMP, pelajaran Olahraga saya lewati dengan kondisi tubuh yang kurang fit, rasanya badan saya jadi panas dingin dan kepala pusing, dan benar saja, saya langsung meminta ijin untuk tidak melanjutkan pelajaran, ke UKS untuk sekedar rebahan.”

Bagaimana perasaan Pembaca saat membaca kalimat di atas? Kalau Neko sih ngosh-ngosh-an. Panjang banget euy, walau udah dikasih beberapa titik koma sebagai pause. Menurut Neko, kalimat di atas bisa dipecah menjadi beberapa kalimat pendek seperti ini:
  1. Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMP.
  2. Pelajaran Olahraga saya lewati dengan kondisi tubuh yang kurang fit.
  3. Rasanya badan saya jadi panas dingin dan kepala pusing.
  4. Benar saja, saya langsung meminta ijin untuk tidak melanjutkan pelajaran, dan pergi ke UKS untuk sekedar rebahan.
Neko masih inget banget kata-kata salah satu dosen Bahasa Inggris Neko. “Dulu waktu ada writing test, walau kosa kata yang dipakai dalam karangan tidak terlalu canggih, saya berhasil dapat A. Apa kuncinya? Kalimat yang saya pakai pendek-pendek.”
Yah, begitulah, dalam menulis karangan, jenis apapun itu, kalimat-kalimat pendek justru menjadikan tulisan terasa lebih lincah dan menyenangkan untuk dibaca. So, daripada mengunakan barisan tanda koma untuk memecah kalimat-kalimat yang panjangnya seperti gerbong kereta api, pecah saja kalimat-kalimat tersebut dengan tanda titik. Kalimat pendek juga lebih mudah dipahami. Intinya make it simple gitu loh.
Untuk masalah kalimat efektif, kita bisa banyak belajar dari koran. Karena para jurnalis itu memang dididik untuk menggunakan kalimat-kalimat yang sesingkat dan seefektif mungkin. Soalnya mereka dibatasi oleh space artikel gitu loh. Beda dengan para penulis fiksi. Karena itu jika kita membaca buku-buku yang ditulis oleh ‘mantan’ jurnalis seperti Dahlan Iskan (Ganti Hati, Hati Baru, Belajar Dari Tiongkok, dll) rasanya sangat renyah kan?
Trus yang terakhir agak mengganjal itu judulnya. "Muntah Lalu Mual"? Coba deh, apa persepsi pembaca abis baca essay yang satu ini. Neko beneran ngira ini cerita kehamilan seseorang @_@... So, judulnya ganti apa gitu. Yang tetep bagus tapi nggak berkesan kaya karya ilmiah ehehehehe....
Sekian dulu dari Neko.  Neko pun masih harus belajar banyak. Buat Agie, thank you banget udah menyediakan tulisan bertema renyah nan bermanfaat untuk dikopi. Keep you spirit, Gal! En moga keluarganya terus sakinah mawaddah warrohmah... 
Cherio
Mizuki-Arjuneko

 Profil Penulis
Aremanita yang kini masih menempuh pendidikannya di Jurusan Kimia UIN Malang, sempat menghebohkan jagad raya FLP Malang. Pasalnya doi nih termasuk anggota yang dari segi usia masih imut tapi malah udah curi start buat nikah duluan…HUAHAHAHA… Mana pasangannya ternyata orang FLP Malang pula (melirik Pak Day). Hehehe…tapi jangan salah, walau masih tergolong muda, pembawaan Agie sudah dewasa, matang, dan keibuan loh. Jago masak pula! Apalagi Agie yang tadinya Neko anggap sebagai Ice Queen ini sekarang makin ‘menghangat dan mencair’ setelah menikah. Makin ca’em deh nih akhwat… (aduh kok aku malah promosiin istri orang sih??? >_<) Heheheshiawase ni ukhti.

            Agie bergabung dalam keluarga besar FLP Malang pada tahun 2010. Kemudian ia diamanahi jabatan pengurus sebagai bendahara. Soalnya doi teliti en telaten banget. Karena background pendidikannya yang murni eksak, awalnya tulisan-tulisan Agie kebanyakan berbau ilmiah dan mengandung bahan-bahan kimia heheh… Setelah gaul ama kita-kita, baru deh doi mulai mencoba gaya penulisan fiksi. Umumnya model karya Agie adalah narasi biografi atau personal literature seperti tulisan di atas.  Oke deh Gie, ditunggu yah karya-karya lainnya. Yang bebas formalin lho! Hihihihi…

DAS WARNING! Waspadai Lomba-Lomba Kepenulisan di Sosial Media!!!

Dunia kepenulisan semakin marak. Grup-grup kepenulisan berbasis sosial media pun bermunculan dan menyediakan banyak lomba dengan iming-iming naskah diterbitkan. Menggiurkan? Memang, Namun, ada baiknya teman-teman Laskar Pena membaca postingan di bawah ini lebih lanjut agar bisa waspada... Kenapa?



Karena banyaknya bisnis cetak buku berkedok lomba!




Berikut saya ingin memberi catatan buat teman-teman pembaca blog ini:


  1. Pada dasarnya lomba itu diadakan untuk menyaring naskah, bukan mengumpulkan semua naskah. Kalau ada lomba menulis berbayar--ambil aja contohnya dengan biaya pendaftaran 50.000--lalu semua naskah yang masuk diterbitkan, itu artinya penyelenggara sedang mengumpulkan penulis lalu mencetak bukunya dan mengembalikan 50.000 dalam bentuk buku. Ini jelas bukan lomba, tapi arisan penulisan karya. Lalu dimana kurasi naskahnya? di mana penilaiannya? Dimana lombanya??
  2. Kalaupun disaring--anggap aja yang daftar 100 orang--maka pihak lomba sudah mengumpulkan 5.000.000 dari bisnis lombanya itu. Menurut pengalaman saya* sebagai penerbit, dana sebanyak itu sudah bisa dipakai untuk mencetak 1000 eksemplar buku. Kalaupun dipilih 20 orang (anggaplah ini 20 karya terbaik) lalu hadiahnya adalah beberapa eksemplar buku (anggap aja 5. jadi 5x20=100 buku), ke mana sisa 900 buku?
  3. Kalau ini adalah antologi bersama, sebenarnya para penulis dihitung patungan untuk mencetak bukunya, bukan berlomba! Mereka harusnya berhak membagi jumlah buku yang dicetak dari total dana yang terkumpul. Itu baru adil. 
  4. Pihak lomba sah-sah saja menjadikan dirnya penerbit/percetakan, tapi setidaknya harus dijelaskan mekanisme yang jelas. Misalnya berapa biaya cetak buku, berapa pembagian keuntungan penerbit dan penulis. Biar buku dan tulisan bukan hanya jadi bisnis jual beli semata. Okelah penerbit cari untung, tapi mekanismenya harus jelas.
  5. Jika Anda, penulis, menemukan kasus-kasus aneh semacam ini, sebenarnya Anda juga harus berpikir ulang dan mempertimbangkannya. Mulai kritis dengan pengumuman lomba, apalagi syaratnya membayar. Harusnya pihak lomba punya dana/sponsor untuk hadiah. Bukan meminta penulis mengumpulkan dana, lalu 'berjudi' dengan peserta lain untuk jadi pemenang.
  6. Lebih aman mengumpulkan teman-teman sesama penulis, lalu mengumpulkan karya dan patungan untuk mendanai cetaknya. Selain lebih transparan, hak penulis juga nggak dikebiri atau dimanipulasi berlebihan. 

Menerbitkan buku sendiri itu gampang kok. Susun buku, edit, layot, bikin cover, cetak dan dsitribusi. Kalau kesusahan, banyak kok desainer, editor yang bisa dimintain bantuan/jasanya untuk pracetak buku. Anda bisa mencetaknya sendiri di penerbit/percetakan yang Anda percayai.

Demikian. Semoga bisa membantu kita semua.



Postingan asli grup ditulis oleh Irwan Bajang

(DAS Comparated Fiction) JARING-JARING MERAH, Helvy Tiana Rosa

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu. 

Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju Buket Tangkurak, bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai. 

"Ugh!"

Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah aku akan berteriak kengerian. 

Ngeri? 

Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, aku melihat tiga sampai tujuh mayat sehari mengambang di sungai dekat rumahku! Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya dan kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang-orang ditembak di atas sebuah truk kuning. Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku melihat tetanggaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah dan suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulangkali. Aku melihat semua itu! Ya, semuanya. Juga saat mereka membantai … keluargaku, tanpa alasan.

Ffffffhuuih, kutarik napas panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah, lebih baik meniru anjing-anjing itu. 

Aku merangkak dan maju perlahan. Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah merah di hadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku mengucur deras, wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan bau bangkai manusia yang menyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang. Cakarku terus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah-remah daging manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dengan cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan arloji tua yang dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka di tanam? Di mana wajah tampan Hamzah? Yang mana tengkoraknya?

Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara serangga malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dengan iringan dawai kepedihan dari sanubari sendiri.

"Perempuan gila itu!" suara seseorang gusar.

"Sayang, dulu ia cantik…," ujar yang lain.

"Ya, juga sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja," kata yang ke tiga. "Ia tak berbahaya. Hanya tertawa dan menangis. "

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan, awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami menari bungong jeumpa. Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah meminangku, melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….

***

"Inong…."

Aku menggeliat. Cahaya mentari masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…,ya, aku di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.

"Dari mana, Inong? Aku mencarimu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh tadi."

Kutatap seraut wajah dalam kherudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.

"Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang,’ jawabku sekenanya.

"Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian," kata Cut Dini sambil memberiku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. "Therimoung… ghaseh…," kuteguk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat peduli. Matanya pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.

Aku kembali merebahkan badan di atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota …apa itu … LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di antara para tetangga, yang sudi berteman denganku. Ia memberiku makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang sekali.

Dulu, setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan. Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari. Sampai aku bertemu Cut Dini dan bisa menjadi burung. Segalanya terasa lebih ringan.

Tetapi tetap saja aku senang berteriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang lewat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang-orang gila! Cut Dini-lah yang melarang. Cut Dini juga yang mengingatkanku untuk mandi dan makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekedar jalan-jalan.

"Baju yang koyak itu jangan dipakai lagi," kata Cut Dini suatu ketika.

"Aku suka," kataku pendek. "Ini baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang."

"Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi," katanya pelan.

Kupandang baju ungu muda di tanganku. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana

"Aku ingin memakainya," lirihku. "Apa aku gila?" tanyaku.

Cut Dini menatap bola mataku dalam. "Menurutmu?"

Aku menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku.

"Kau sakit. Kau sangat terpukul," ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan membungkus baju itu dengan koran.

Aku mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini

"Sudahlah." 

Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al Quran mungilnya dan membacanya dengan syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji—lewat pengeras suara-- di musala.
Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar bacaan Al Quran.

***

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…ha…ha, aku tertawa gelak-gelak.

"Siapa kalian?" tiba-tiba kudengar suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yang merangkap kamar tidurku. 

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela yang rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.

"Kami orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah pada Inong. "

Aku nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?

"Kami minta ia tidak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai walinya menandatangani kertas bermaterai ini."

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dari jendela. 

"Tidak!! Bagaimana dengan pemerkosaan dan penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang berserakan di Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli…dan di mana-mana!" suara Cut Dini meninggi. "Lalu perkampungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!"

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling berpandangan. "Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan masyarakat."

"Oh ya?" nada Cut Dini sinis. "Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang terpaksa menjadi cuak, memata-matai dan menganggap teman sendiri sebagai pengikut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini."

"Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lupakan saja gadis gila itu."

Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka dengan panci dan penggorengan. Mereka berteriak-teriak seperti anak kecil dan berebutan keluar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku! Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-nakuti orang! Paling tidak mereka cuak! Aku benci cuak!

"Inong…."

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan. 
"Masya Allah, nanti perabotan itu rusak," suara Cut Dini, tetap lembut. "Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat Lohor dulu," katanya. 

"Mengapa aku tak pernah diajak shalat?" protesku. " Dulu aku shalat bersama keluargaku, sebelum aku bisa jadi burung," tukasku. 

"Jangan menjadi burung, bila ingin salat seperti manusia," kata Cut Dini tersenyum.

***

"Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!"

Aku terbangun dan mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret keluar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang mengangkat Mak dan membawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

"Ini pelajaran bagi anggota GPK!" teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin. "Zakaria dan keluarganya membantu anak buah Hasan Tiro sejak lama!" 

Warga desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!

"Jangan ada yang menunduk!"

Aku gemetar mendengar bentakan itu. 

"Ayo lihat mereka. Kalian sama dengan warga Mane … bekerjasama dengan GPK!" suaranya lagi. 
"Kami bukan GPK!"suara Ma’e. 

"Lepaskan mereka. Kalian salah sasaran!" Ya Allah, itu suara Hamzah!

"Angkut orang yang bicara itu!"

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Airmataku menderas.

"Siapa lagi yang mau membela?" tantang lelaki penyiksa itu pongah.

"Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat," suara Geuchik Harun. "Pak Zakaria hanya seorang muadzin. Jiibandum ureung biasa." Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

"Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!"

Aku meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku! 

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"aku berteriak sekuat-kuatnya.

"Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!"dua tangan menggoncang-goncang badanku.

Airmataku menganak sungai, tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring! Banyak orang-orang sepertiku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.

"Inong, istighfar…."

Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke sana kemari. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sayapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan jaring ke sana kemari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas dan berdarah. Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!!

Tak ada yang mendengar. Sebuah pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan bercampur dengan aliran air di pipiku.

"Allah tak akan membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! Laa haula walaa quwwata illa billah…." 

Kabur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap airmataku.

Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa orang. Di antaranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini erat-erat.

"Ia hanya satu dari ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri. Oknum-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan ini!"

Takut-takut kuintip lelaki tegap yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk menangkapku lagi?

"Pergiiiii! Pergiiii semuaaaa!" teriakku. "Pergiiiiiiii!" aku menjerit sekuat-kuatnya. Pergiiiiii!" Aku menceracau. Sekujur badanku bergetar, terasa berputar. Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan. Hah, apa peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa dan siapa pun yang ada di hadapanku! Aku… 

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada suara yang keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada airmata yang mengalir. Aku mengamuk panik, tetapi kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma luka nganga. 

"Inong…, mereka akan membantu kita…."

Aku terkapar kembali. Menggelepar. Berdarah dalam jaring.

*** 
Keterangan:
Buket Tangkurak: Bukit Tengkorak
Geuchik: Kepala Desa
cuak : orang yang jadi mata-mata tentara
Mane: nama desa di Pidie
ureung-ureung : orang-orang
that: sekali
jibandum ureng biasa: mereka orang biasa
therimoung ghaseh: terimakasih
kherudoung: kerudung

Majalah Horison, April, 1999
Cerpen ini dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir (1990-2000).

Dari Buku Bukavu. PT. Lingkar Pena Kreativa, 2008



[Resensi] Hafalan Sholat Delisa

By Cak Dayat

Judul: hafalan sholat delisa
Pemain:
  • Chantiq Schagerl as Delisa,
  • Reza Rahardian as Abi Usman,
  • Nirina Zubir as Ummi Salamah,
  • Ghina Salsabila as Fatimah,
  • Reska Tania Apriadi as Aisyah,
  • Riska Tania Apriadi as Zahra,
  • Joe P Project as Koh Acan,
  • Al Fathir Muchtar as Ustadz Rahman,
  • Loide Cristina Teixeira as Suster Sofie,
  • Mike Lewis as Prajurit Smith
Sutradara : Sony Gaokasak
Rumah Produksi : Starvision


Hafalan sholat delisa, inilah novel tereliye pertama yang aku baca. Novel yang mengantarkan aku untuk kemudian membaca karya-karyanya yang lain. Syahdu menyayat-nyayat hati, salah satu efek yang selalu dirasa setelah membaca tulisanya. Tapi, bagaimana jika novel itu di filmkan?

Hafalan sholat delisa, sebuah film adaptasi dari sebuah novel tereliye dengan judul yang sama. cerita ini dibuat dengan latar belakang saat terjadi tsunami di aceh. Sama dengan saat membaca novelnya, film ini juga sukses mengalirkan titik-titik bening dari mata.

Cerita di awali dengan adegan aisyah teriak-teriak membangunkan delisa adiknya untuk sholat subuh berjamaah.  Suasana makin riuh saat Zahra-kakak kedua delisa- ikut protes karena teriakan-teriakan Aisyah  yang selalu terjadi tiap pagi. Selanjutnya, lewat adegan inipula tokoh Fatimah-kakak pertama Delisa- di kenalkan. Sebagai seorang kakak dengan kesabaran , kelembutan dan kepintaranya yang sukses membangunkan Delisa tanpa teriakan.

Selanjutnya, kita akan disuguhi adegan-adegan yang menggambarkan tentang sebuah potret keluarga yang menyenangkan dengan limpahan  kasih sayang.  Tingkah laku delisa yang ceria dan apa adanya. pertengkaran-pertengakarn kecil dia  dengan kakaknya aisyah. Kehebatan seorang umi dalam mendidik dan mengayomi  ke empat  putrinya. Sebuah potret keluarga idaman.

“Delisa sayang umi karena Allah” bagaimana mungkin seorang ibu tidak akan meleleh matanya saat anak kecilnya memeluk  dari belakang sembari membisikkan kata indah itu. Bahkan orang yang ikut melihatnya saja  ikut basah di matanya. termasuk sebagian besar penonton yang saat itu menonton. Walau di adegan berikutnya kita di buat tertawa geli. Saat kita tahu kalau dia mengucapkan kata-kata sakti itu karena ingin mendapatkan sebuah hadiah. Sebatang coklat dari ustad rahmat jika berhasil membuat ibunya menangis dengan kalimat itu.

Seperti dalam novelnya, film ini bercerita tentang delisa yang kesulitan dalam menghafal bacaan sholat. Hinga untuk menyemangati agar dia lebih rajin dalam menghafal, sang umi yang diperankan nirina zubir menjanjikan sebuah hadiah kalung dengan liontin initial D.

Delissa, seorang gadis ceria yang selalu penuh dengan limpahan kasih sayang, tiba-tiba dalam skejap mata semuanya itu tercerabut dari hidupnya. Umi dan ketiga kakaknya meninggal, teman-temanyapun banyak yang telah jadi korban keganasan tsunami. Tapi delisa lewat semngat dan keceriaanya, dia mengajarkan arti semangat hidup. Walaupun kini dia harus hidup dengan satu kaki.

Dalam film ini, banyak pesan moral yang ingin disampaikan. Salah satunya tentang  arti khusuk dalam sholat. Bahwa saat sholat itu fokus, apapun godaanya. Lihat saja dalam adegan saat delissa sedang fokus mengingat bacaan sholatnya dalam ujian hafalan sholat itu. Bahkan saat gempa mengguncang, dia masih fokus membaca doa iftitah. Atau saat ibunya sudah teriak-teriak memanggil –mangil namanya, ia seaakan tuli dan terus melanjutkan hafalanya. Hingga akhirnya tsunami menenggelamkanya.

Secara keseluruhan film ini sudah sukses mendekati gaya novel tereliye. Mengaharukan, memaksa penonton sesenggukan. Atau sesekali trenyuh merenung dengan tingkah polos anak-anak. Apalagi dikemas dengan setting Lokngah yang mempesona. Dengan iringan musik-musik aceh yang bikin merinding mendengarnya.

Cuma sayang, ada sedikit celah yang sepertinya kurang digarap maksimal. Tentang  visualisasi saat terjadi tsunami. Atau saat delisa bermimpi ketemu keluarga dan teman-temanya yang sudah meninggal. Terlalu kaku visualisasinya.

Ada juga salah satu adegan yang masih sulit aku nalar. Yaitu saat adegan tsunami terjadi, ustad rahmad sedang menguji delisa yang sedang tes hafalan sholat. Beserta ibunya yang menunggui di luar. Hampir semua  orang meninggal atau luka parah saat itu. Kecuali ustadz rahmad yang tidak diceritakan keadaanya. Hinga saat bencana sudah mereda, dan delisa juga sudah siuman dari pingasan panjangnya. Ustad rahmad tiba-tiba  muncul dengan tas ransel di punggungnya. Terkejut, itu ekspresinya saat pertama kali melihat desa telah rata dengan tanah. Seakan-akan saat kejadian dia sedang tidak berada di sana. Entahlah.


Ini film Indonesia ke dua yang aku tonton langsung di bioskop. Secara keseluruhan cukup memuaskan. Film yang sepertinya layak dimasukkan dalam agenda nonton bareng dengan anak2 atau keluarga tercinta. Selain  banyak pesan dan pelajaran yang bisa diambil, film ini juga bersih dari adegan-adegan kekerasan atau pornograf

[POEM] Mourning Clown

Here i am,
holding on my tears
as the world won't me cry
i wanna leave all of this
as i think i'm not a human anymore
you see,
the world wants me cheers
the world wants me laugh
and the world wants me happy
always and always
then everyone wants being a clown
just like me
no more pain
no more rain
no more stain
O dear world,
a clown is you
who needs  some time
for being on his own
all alone
to be the true of every you
who wants cry
not for being cried
who wants laugh
not to be laughed
needs happiness
not just fake joy
here i am
a clown
with full of me
being to be like you
every of you

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
DUKA SEORANG BADUT

di sini aku
menahan air mata,
dunia tak ingin ku menangis
ku ingin tinggalkan semua ini
aku bukan aku lagi
lihatlah
dunia ingin aku bersorak
dunia ingin aku tertawa
dunia ingin aku bahagia
selalu dan selalu
sampai-sampai semua ingin jadi badut
sepertiku
tak ada duka
tak ada hujan
tak ada luka
duhai dunia,
seorang badut adalah kamu
yang ingin sejenak
menjadi dirinya sendiri
sendirian
benar-benar seperti kamu
yang ingin menangis
bukan untuk disoraki
yang ingin tertawa
bukan ditertawakan
butuh kebahagiaan
bukan kegembiraan semu
di sini aku
seorang badut
dengan diriku sendiri
menjadi sepertimu
setiap dirimu

^^^^^^^^^^^

Gambar dari Google