(KRUPUK UNTUK JIWA): Pilih Identitas

Saat anak kami yang sulung beranjak remaja, dia sangat antusias mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Saya dan istri sangat mendukung, karena berdasarkan pengalaman ilmu-ilmu pengalaman berorganisasi ternyata sangat dibutuhkan saat bekerja. Suatu saat anak saya menanyakan kegiatan apa saja yang diikuti ibunya saat masih sekolah.
“Ibu dulu tidak pernah ikut kegiatan ekstrakurikuler nak…Dulu badan ibu suak (rapuh,gampang sakit).”
“Sekarang kok Ibu sehat dan kuat?”
“Sekarang Ibu harus sehat dan kuat, karena bila ibu lemah bagaimana dengan anak-anak Ibu? Ibu harus sehat dan kuat untuk menjaga anak-anak Ibu”
“Berarti sebenarnya dulu Ibu juga bisa kuat dong kalau mau….?!”
Istri saya terdiam, mencari kata-kata yang tepat sebagai jawaban. Saya merasa saatnya untuk nimbrung dalam obrolan.
“Dulu saat masih sekolah, siapa yang mengatakan kalau badan Ibu suak?”
“Yangkung dan Yangti (kakek dan nenek, orang tua istri). Tapi kenyataannya Ibu memang sering sakit dulu…”
Saya tergoda untuk ikut nimbrung dalam pembicaraan yang menarik ini,“Mungkin awalnya Ibu memang pernah beberapa kali sakit. Karena sayang kepada anak, Yangkung dan Yangti sangat menjaga Ibu. Mereka tidak ingin anaknya sakit khan? Tanpa disadari mereka terlalu menjaga dan melindungi Ibu. Mereka berkali-kali menasehati ibu, bahkan terlalu sering, bahwa Ibu harus menjaga kesehatan. Tanpa disadari, Yangti,Yangkung, dan Ibu memutuskan bahwa tubuh Ibu suak, bahwa Ibu adalah anak gadis yang berbadan suak. Akhirnya itulah yang terjadi,” begitu kata saya.
Istri saya terdiam, masih bimbang antara setuju dengan tidak.
“Saat menikah Ibu tidak tinggal lagi dengan Yangkung dan Yangti. Bapak tidak pernah tahu tentang riwayat kesehatan Ibu sehingga tidak pernah menyinggung badan Ibu yang suak. Bapak ingin dan merasa punya istri yang sehat dan kuat. Alhamdulillah Ibu jadi sehat dan kuat” saya tersenyum sambil meremas lengan istri.
Teman-teman, begitu mudah kita memvonis diri sendiri dan orang lain hanya berdasarkan beberapa kali kejadian. Hanya beberapa kali masuk rumah sakit sudah divonis orang penyakitan. Hanya beberapa kali berbuat jahat sudah dijuluki orang jahat. Bahkan saat dia berbuat baikpun julukannya tetap digunakan, orang akan mengatakan sebagai ‘orang jahat yang berbuat baik’. Padahal mungkin dia sudah bertaubat, mungkin kejahatan yang dulu pernah dia lakukan karena dia tidak tahu atau khilaf.
Saat teman anda sedang mengalami musibah, anda mungkin mengatakan :
“Kasihan kamu…Musibah berkali-kali datang menimpamu.Yang sabar ya… Aku turut berduka cita”
Tapi anda juga bisa mengatakan :
“Kamu sangat kuat dan tabah…Aku yakin kamu bisa tetap kuat dan sabar menghadapi semua ini. Aku turut berduka cita dan siap membantumu”
Bisa anda rasakan perbedaannya?
Teman-teman, banyak pilihan identitas yang bisa kita pilih untuk kita gunakan atau kita berikan kepada orang-orang di sekitar kita. PILIH IDENTITAS yang TERBAIK dan BERMANFAAT untuk diri sendiri maupun orang lain.
Hiduplah efektif dan berbahagialah
Krupuk untuk jiwa. Renyah dibaca, gurih maknanya.

Editor's Note: 

Sesering apakah kita men-judge orang lain? Dan yang lebih penting, sesering apakah kita men-stigma diri sendiri? Semua itu kembali pada pikiran masing-masing. Andai kebanyakan orang bisa memandang segala permasalahan di dunia ini dengan pikiran bersih dan lurus, mungkin masalah-masalah yang ada tidak akan terlalu rumit. 
Sering, kita jugalah yang membiarkan lingkungan menghancurkan diri kita. Bahkan secara tak sadar bisa jadi kita telah menghancurkan seseorang dalam lingkungan kita. Naudzubillah....
Neko jadi inget kata-kata ayah Neko, "Dunia itu kejam. Dalam lingkungan pergaulan, orang-orang di dalamnya selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan yang paling lemah. Bukan karena dia lebih baik dari kita. Tapi agar dia bisa membuat dirinya atau lingkungannya berpikir bahwa dia lebih baik dari 'orang yang dia hancurkan'.
Begitulah. Yang paling baik adalah mengenal potensi dan kelemahan diri sendiri. Kadang kita juga membutuhkan masukan dari beberapa orang terpercaya yang bisa berfungsi sebagai cermin. Tapi siapa yang lebih mengenal diri kita kalau bukan diri kita sendiri.
Benar-benar tulisan yang bermanfaat, Pak Dian. Jazakallah...
Kali ini Neko cuma menambahkan sedikit saja pada karya  Pak Dian kali ini. Jauh lebih sedikit dari postingan yang lalu eheheh...  Yaitu pada bagian ini:
Saya tergoda untuk ikut nimbrung dalam pembicaraan yang menarik ini,“Mungkin awalnya Ibu memang pernah beberapa kali sakit. Karena sayang kepada anak, Yangkung dan Yangti sangat menjaga Ibu. Mereka tidak ingin anaknya sakit khan? Tanpa disadari mereka terlalu menjaga dan melindungi Ibu. Mereka berkali-kali menasehati ibu, bahkan terlalu sering, bahwa Ibu harus menjaga kesehatan. Tanpa disadari, Yangti,Yangkung, dan Ibu memutuskan bahwa tubuh Ibu suak, bahwa Ibu adalah anak gadis yang berbadan suak. Akhirnya itulah yang terjadi,” begitu kata saya.
Yap, cuma dua kalimat yang Neko tebali. Well, hanya sekedar untuk memperjelas, siapa yang sedang berbicara saat itu. Karena untuk beberapa detik, saya sempat mengira kata-kata ini keluar dari anak Pak Dian. Tapi kok rasanya dewasa sekali. Neko baru ngeh setelah membaca beberapa baris sesudah kalimat ini. Overall sebenarnya udah perfect. Jadi anggap aja ulasan di atas cuma alasan Neko biar editor's note-nya nggak pendek-pendek amat. HUAHAHAHA... Cherio!
Mizuki-Arjuneko

Profil Penulis:

Pak Dian dengan kelinci-kelincinya
Nur Muhammadian atau yang lebih dikenal sebagai "Pak Dian" (nama beken beliau saat di FLP Malang) adalah lulusan dari Universitas Brawijaya tahun 1994. Pernah bekerja sebagai core engineer di perusahaan telekomunikasi Indosat. Pak Dian bergabung dalam keluarga besar FLP pada tahun 2008. Awalnya saat FLP UM membuka Writing School selama 3 bulan. Dan sejak saat itu, Pak Dian pun sering menjadi tempat curhatan para pengurus FLP UM (kemudian FLP Malang), karena ke-cool-annya dan sudut pandangnya yang menarik dalam melihat setiap permasalahannya (cieee...). 

Pendek kata, Pak Dian enak banget deh kalau diajak diskusi. Sekarang Pak Dian memilih untuk berwirausaha membuka peternakan kelinci. Tulisan-tulisan beliau yang tidak kalah oke dengan yang di atas dapat langsung diakses di blog beliau di: motivasihidupsukses.wordpress.com

TIPS MENULIS dari KURT VONNEGUT: Jangan Buang Waktu Pembaca

KURT VONNEGUT adalah seorang penulis satir, humor dan fiksi ilmiah dengan reputasi raksasa. Lahir di Amerika Serikat, ia sempat menjadi prajurit dalam periode Perang Dunia II. Karya-karyanya telah mendulang banyak pujian di kalangan pembaca dan sesama sastrawan–seperti Slaughterhouse Five, Cat’s Cradle dan Breakfast of Champions.

Selain itu, ia juga banyak menerbitkan cerita-cerita pendek di sejumlah majalah dan jurnal sastra kenamaan dunia. Berikut adalah 8 tips sederhana yang ia berikan di sebuah lecture universitas tentang cara menulis cerita yang efektif:

1. Gunakan waktu pembaca dengan bijaksana agar mereka tidak merasa seolah waktu mereka terbuang dengan membaca tulisanmu.

2. Berikan setidaknya satu karakter yang bisa dijuarakan oleh pembaca.

3. Setiap karakter harus punya keinginan, meskipun keinginan itu sangat sederhana seperti segelas air minum.

4. Setiap kalimat harus melakukan satu di antara dua hal berikut: memperkuat karakter atau memajukan aksi dalam cerita.

5. Mulailah sebuah cerita sedekat mungkin dengan ending cerita.

6. Jadilah penulis yang SADIS. Tak perduli seberapa baik dan suci karaktermu, biarkan kejadian-kejadian buruk menghampirinya agar pembaca dapat melihat seperti apa sifatnya.

7. Menulislah untuk memuaskan satu orang saja. Jika kau membuka jendela dan berusaha untuk menghirup semua udara yang ada, maka ceritamu akan terjangkit radang paru-paru.

8. Berikan informasi selengkapnya dan secepat mungkin kepada pembaca. Jangan pikirkan masalah suspens. Pembaca harus mengerti benar apa-apa yang terjadi dalam ceritamu, di mana kejadian bertempat dan kapan, sehingga mereka bisa menyelesaikan cerita itu sendiri dengan menggunakan logika mereka. Siapa tahu halaman terakhir ceritamu digerogoti serangga.

dikutip dan disebarkan di grup FB FLP Malang oleh Pak Rahadi

sumber: 
www.brainpickings.org 
www.fiksilotus.com

(DAS ESSAY): Malang Ijo Ruko-ruko

oleh: Quan Day

Numpang corat-coret, maaf para Aremania jika saya salah mengambarkan bumi Arema.

Sore sudah menuju akhir, saat nampak seorang ABG duduk di pinggir alun-alun kota, dengan pohon-pohon beringin besar sebagai latarnya. Melihat burung seriti berseliweran, tenang, tanpa diganggu pengamen atau anak-anak peminta. Merasakan hawa dingin yang menggelitik setiap pori. Sungguh alun-alun yang sangat nyaman dipakai bersantai, apalagi setelah kaki ini sudah lelah menapaki beberapa mall yang berdiri angkuh di sekitarnya. Setidaknya itu gambaran yang masih kuingat saat pertama kali menginjakkan kaki di Malang. Dulu, saat seragam abu-abu putih masih menjadi jati diri.

alun-alun Malang, tempo dulu
Bergeser sedikit ke bagian barat bumi arema, dengan kisaran waktu yang tidak terlalu lampau. Melihat sekelompok remaja, bergerombol santai di pinggir jl.veteran, menikmati udara malam dalam secangkir kopi. Ah, sungguh nikmat sepertinya. Tak nampak wajah lelahnya, walau sudah berjalan cukup jauh. Mungkin karena jalanan tidak sesemrawut sekarang, hingga jarak antara UNIGA dan Jl.Veteran bukan hal yang melelahkan untuk ditelusuri. Jalanpun bisa santai, tidak harus berebut jalan (baca: trotoar) dengan motor-motor tak tahu aturan.  Atau  tiba-tiba menghentikan langkah karena jalan tertutup oleh gerobak dagangan.

Dalam kisaran waktu yang tidak jauh berselang, di pagi hari yang bersih. Melihat seorang pemuda tampan berlari, santai tidak tergesa. Menyusuri jalanan di belakang UIN Malang. Sepi, jarang terlihat kendaraan lalu lalang. Bebas menghirup udara segar, sekali-kali berhenti melihat sawah yang ditumbuhi padi. Sebagai pengobat rindu akan kampung halaman.

Melompat jauh ke dunia sekarang. Mencoba menelusuri lagi sudut-sudut Malang yang pernah muncul dalam kenangan. Sayangnya, hampir semuanya sudah hilang. Semuanya sudah bertumbuh, mengikuti perkembangan Malang yang begitu pesat. Tidak ada lagi alun-alun yang nyaman, bahkan burung seriti pun sudah tidak betah untuk berseliweran di sana. Mungkin mereka telah migrasi, entahlah. Semoga saja suatu saat mereka mau kembali. Ah, satu tempat kini sudah menjadi kenangan.

Masjid Jami' Malang, tempo dulu
Ketenangan Jl.Veteran apalagi, sudah lama itu hanya tinggal kenangan. Saat sebuah gedung congkak bernama mall itu berdiri angkuh di sana, jangan pernah harap ketenangan ada lagi. Kini jalanan itu hanya menyuguhkan keramaian, kemacetan, dan romantisme konsumerisme. Dan percayalah, saat sebuah gedung telah sukses menancapkan jati dirinya di sana, tidak menunggu waktu lama lagi biasanya akan  melahirkan gedung-gedung baru di sekitarnya.

Mau lari pagi? Hati-hati, tengok kanan kiri, karena hampir semua jalanan tidak ramah bagi pejalan kaki, Begitu pula jalanan di belakang UIN. Tidak bisa lagi berlari santai di sana saat pagi. Jalanan sudah ramai mulai pagi, saling berebut mencemari udara. Sawah-sawah yang dulu sering aku pandangi juga sudah banyak yang mati, atau lebih tepatnya dimatikan. Berganti wajah menjadi ruko-ruko, warung-warung lesehan, perumahan, atau pasar yang entah jadi di tempati kapan.

Malang Ijo Ruko-Ruko, benar sepertinya sebuah kata yang pernah diucap oleh seorang kawan ini. Malang bukan cuma kota dingin atau kota pendidikan. Malang juga sudah bertumbuh menjadi kota ruko, kota mall, kota konsumerisme. Kota apartemen? Kita lihat saja tanggal mainya. Mungkin, beberapa tahun ke depan, akan sulit lagi melihat tanah lowong di sini. Bahkan bisa jadi melihat tanah pun tidak akan gampang, karena semuanya sudah tertutup aspal dan paving.

Saat semuanya itu sudah terjadi, kita tempatkan dimana diri kita?


Bersambung…


Editor's Note:

Hmm...tadinya Neko mengira ini semacam fiksi begitu, tapi dari judulnya kok bau-bau essay ya. Habisnya cara Pak Day memaparkan tulisannya tidak seperti tulisan opini atau essay pada umumnya. Sempat bingung mau diberi label apa tulisan ini. Setelah membaca beberapa kali, memang tulisan ini bergenre essay. Essay romantis kalau boleh Neko bilang hehehe... 

Saat membaca essay ini, Neko bisa membayangkan suasana alun-alun kota Malang dengan angin berhembus semilir memainkan jilbab Neko, ikut memandangi burung Sriti (walau Neko nggak tahu burung Sriti tuh kayak apa wujudnya...DOENG! =b) . Neko juga seakan duduk di bawah pohon beringin yang sama dengan yang digambarkan oleh tulisan di atas. Neko juga bisa merasakan dinginnya hawa "Malang Tempo Doeloe" yang dideskripsikan di atas (karena pas Neko nulis editor's note ini, hawa pagi emang lagi dingin-dinginnya hehe =b)

Membaca postingan ini, serasa melihat ke foto Malang jaman dulu yang tidak sesumpek dan seramai sekarang. Damai... Secara Neko lahir jauh lebih lama setelah Pak Day lahir, jadi Neko tidak sempat merasakan "syahdunya kota Malang" seperti yang Pak Day alami. Perasaan dari dulu Malang udah rame. Ahh...iri-iri-iri... Padahal kan yang orang Malang itu saya hehehe...

Anyway, Neko jadi penasaran kayak gimana jadinya kalau Pak Day menulis fiksi. Romantis juga nggak ya? Apalagi doi kan baru nikah tuuuuuh... Cieh cieh... (ehem! Balik ke topik!) Pendeknya Pak Day cukup baik dalam menerapkan konsep Show, Not To Tell! dalam tulisan ini. Kemampuan untuk membuat pembaca ikut terhanyut dan seakan-akan ikut mengalami pengalaman si tokoh yang ada dalam tulisan yang kita buat itu tidak bisa didapat begitu saja loh. Perlu latihan dan ketekunan mengamati karya-karya sastra yang sudah ada. Salut deh...

Cuma sedikit saran aja soal diksi yang simpel. Pada beberapa fragmen cerita di atas, kata "melihat"  sepertinya lebih pas kalau diganti dengan kata "memandang". Karena "memandang" itu rasanya lebih intens dan kuat jika dibandingkan dengan kata "melihat" yang kesannya hanya sekilas lalu. Mengutip kata-kata dari komik Silent Eyes karya Akaichi Michiyo (komik tentang fotografer kasus kriminal nih), "Mata memandang itu kuat. Mata melihat itu lemah."

Kekurangan essay ini mungkin hanya pada judulnya saja. Frase "Malang Ijo Ruko-Ruko" itu udah umum sih. Mungkin bisa dibikinkan judul yang lebih catchy dan fresh lagi. Seperti apa ya... hmmm "Maroko ==> Malang Area Ruko"? (hehehe...mekso mode).  Atau ada teman-teman Laskar Pena lain yang bisa bantu? Silahkan ikut sumbang apresiasi di kotak komen =)
Well, cukup segini dulu aja deh, editor's notenya. Keep your spirit in writing, Pak Day!

Cherio

Mizuki-Arjuneko 

Profil Penulis:

Achmat Hidayat, atau yang di FLP Malang lebih beken dengan panggilan "Pak Dayat" atau "Pak Day", kini menjabat sebagai Ketua Harian 1 setelah sebelumnya setahun ngendon di divisi Danus (Dana Usaha). "Quan Day" adalah nama pena sekaligus nama FB Bapak yang satu ini (dari dulu Neko penasaran, "quan" itu artinya apaan sih???). Beliau lulus dari Unisma (angkatan 2001)

Pertama kali ketemu, Neko sungkan ama Bapak yang satu ini. Udah sipit (padahal, Neko juga sipit wkwkkw), umurnya jauh di atas Neko, kayaknya pendiam pula. Setelah ni orang nikah ama temen Neko (yang juga anak FLP en teman se-liqo-an), baru deh ketahuan kalo nih orang... NYEBELIN!  Sukanya nyolot, terutama nyolotin Neko. Ketemu ama orang ini, berasa perang skak mat. Huh! Kok bisa ya? Apa menikah itu bisa mengubah karakter orang 180 derajat, atau dianya aja yang tadinya jaim (coz waktu itu belum  laku kali yah? hihihi)

Anyway, walau Neko sering dibuat geleng-geleng, sebenarnya doi lumayan baik loh. Salah satu hobinya yang disukai anak-anak FLP Malang adalah...doyan nraktir! Pas bujang dulu konon kalau anak-anak FLP Malang sering ditraktir makan en nonton bareng... Hmmm... Bagus-bagus. 

Tulisan-tulisan lain dari Pak Day, bisa diakses di blog: http://cakdayat.multiply.com/ dan di www.tahucampur.com

Lelaki yang bekerja di bidang internet marketing ini sekarang sedang merintis usaha online-nya bersama sang istri tercinta, Agie Botianovi. Sila kunjungi tokonya, Botia Shop.

(Divisi Apresiasi Sastra) Karya Sastra: Hidup Berkat Kritik dan Apresiasi


"Apakah sebuah karya sastra dapat langsung disebut 
sebagai "karya sastra", setelah dihasilkan? "


Ini adalah jargon pembuka diskusi yang sangat menarik ketika Neko sit in di kelas Teori Sastra. Kelas ini dipegang oleh Bapak Karkono, dosen Neko di Sastra Indonesia. FYI aja, Neko itu anak Sastra Inggris, tepatnya pendidikan Sastra Inggris. Semester depan Neko akan ambil ulang mata kuliah Literary Theory.

Jujur Neko agak kesulitan memahami Literary Theory. Semester lalu, Neko mencoba memasuki kelas itu (haha...buat kuliah kok coba-coba). Tadinya Neko mengira akan mendapatkan materi-materi seperti "cara menulis karya sastra dengan baik", ternyata...yang dibahas adalah...teori-teori untuk kritik sastra! Pengalaman Neko pada kelas itu bisa dibilang sangat tidak sukses. Karenanya Neko harus retake kelas ini.

Alhamdulillah, beruntung Bapak Karkono mengijinkan Neko untuk masuk ke kelas Teori Sastranya di Sastra Indonesia.

Buat yang udah kenal Neko, mungkin bisa jadi pada bingung dan berpikir, "Apa yang dilakukanm anak ini di kelas Sastra Indonesia?" 

Hahaha... karena memang sebenarnya Neko anak Sastra Inggris. Anak pendidikan pula! Tapi berhubung Neko agak nyentrik en doyan nulis*, Neko lebih sering dituduh sebagai  anak Sastra hehehe... Neko pingin double degree, tapi takut kuliah yang udah molor ini tambah molor lagi. Akhirnya Neko cuma mengambil jatah kuliah anak Sastra  di kelas-kelas seperti Cultural Studies, Asian Studies dkk. Neko lebih sering kelihatan main ama anak Sastra daripada ama anak-anak pendidikan hehehe... Like a fish out of the tank geetoh! (Atau malah like an English man in Newyork?)

*baca: aktivis facebook!

tampang Neko saat frustasi dengan kelas Literary Theory
Ndilalah pas ambil mata kuliah Literary Theory, Neko kena batunya. Gak nyambung blas ama apa yang diomongin! Ternyata teori-teori sastra itu lebih rumit daripada membaca karya sastra paling mbulet. Bahkan lebih runyam ketimbang saat membuat karya sastra itu sendiri. Mana kelasnya sore*,  dosennya pakai metode ceramah pula. Suram banget deh tuh kelas.

*jam dimana kucing-kucing normal lain harusnya bobo!

Neko pun cabut karena nggak tahan. Bahkan tanpa mengerjakan tugas akhir (mau ngerjain gimana, wong nggak ngerti blas!) Alhasil nilai (SENSOR!) pun menghiasi KHS dan benar-benar bikin Neko tambah frustasi. What the hell getoh dengan strukturalisme-lah, post-modernisme-lah,dan isme-isme lainnya suck! Teori-teori yang bikin sebal dan tidak practical! Apa gunanya isme-isme itu di dunia nyata ? Palingan menjadi beban wacana belaka? Anak-anak yang dapet nilai bagus di kelas itu belum tentu bisa menghasilkan cerpen seperti Neko! "I don't these hellish theories!"  That's what I thought for the first time.

But, bagaimanapun Neko harus melakukan sesuatu terhadap nilai aib ini...ARGGGGGH!

Lek ga lulus ni mata kuliah, bisa tercemar nih KHS seumur-seumur! Apalagi Literary Theory itu sebenarnya cuma mata kuliah pilihan (alias bukan mata kuliah wajib). Rugi amat IPK terjun bebas cuma gara-gara 1 mata kuliah non-wajib! Artinya Neko harus retake. Tapi di semester-semester berikutnya, rupanya kelas Literary Theory tetap dipegang ama dosen yang sama. Neko sih nggak benci dosennya. Cuma cara ngajarnya itu bikin ngantuk. Entah beliau sudah saatnya ganti metode, atau otak Neko aja yang terlalu simple untuk menerima hal-hal yang rumit. Huhuhu

Tuhan lalu memberikan jalan terang bagi Neko. Suatu hari Pak Karkono*, menawarkan kepada Neko untuk sit in** di kelas Teori Sastra. Kelasnya Jurusan Sasindo. Beliau bilang Neko bisa mendapatkan ilmu macam strukturalisme blablabla... itu dari kelas beliau. Puji Tuhaaaaaaaaaaaaaan! Alhamdulillaaaaah! Benar-benar setitik cahaya harapan di masa-masa molor kuliah yang kelam!  Akhirnya demi mempersiapkan diri untuk kelas Literary Theory semester depan, Neko pun sit in di kelas Teori Sastra Sasindo selama 1 semester, nyaris non-stop! Gabung ama para mahasiswa baru Sastra Indonesia. Hihihihi... Lagi-lagi ketemu brondong***. 

*dosen Sastra Indonesia yang sering bersedia jadi konsultan waktu Neko mau bikin cerpen

** Sit in= mengikuti perkuliahan di kelas lain. Nggak masuk KRS dan nggak dapat nilai. Tapi insyaallah dapat pengertian ilmu kimia yang lengkap.  Istilah halusnya "JADI PENYUSUP"!

*** motivasi sampingan yang bikin Neko tambah semangat. Hihihihi

Kesan Neko? It was really fun! Ada banyak yang Neko dapetin, padahal Neko baru pertama kali sit in di sana. Pertama kali Neko menyusup, saat itu adalah pertemuan kedua. Tapi udah ada dua teori sastra yang nyantol ni kepala Neko saat itu juga. Alhamdulillah...terimakasih Pak Karkono. Cara mengajar beliau enak diikuti. Beliau mampu menyajikan hal yang rumit menjadi bahasan ringan en mudah dicerna otak. Kelas jadi lebih menyenangkan juga karena Neko udah nge-fren ama nih dosen kali yaaaa? Hehehehe... Nah, apa aja yang udah Neko dapat dari sana? Check these out!
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

B. Pengenalan Kritik Sastra: Jadilah Pembaca Kritis! Kok Harus?

Nah, mulai bab ini, gaya pembahasannya jadi lebih serius nih. Sebagai pemanasan, mari kita lihat lagi kalimat pembuka postingan di atas:

"Apakah karya sastra dapat langsung disebut 
sebagai "karya sastra" setelah dihasilkan? " 

Ternyata jawabannya tidak. Sastra adalah salah satu bentuk kebudayaan manusia yang disampaikan dalam bentuk ide. Entah oral maupun non-lisan atau tertulis. Karena itulah...

"sebuah karya sastra hanya menjadi artifak atau benda mati jika belum dibaca oleh orang lain". 


Agar dapat mengerti maksud kalimat di atas, mari kita mengutip Wolfgang Iser*, 

"Literary work can only come to life when it is read. 
Therefore a literary work can only be studied 
through the eyes of the readers" 

Apa maksudnya? Artinya sebuah karya sastra baru bisa menjadi hidup kalau dibaca oleh orang lain. Jika karya itu sudah diapresiasi oleh pembacanya.

Karena itu, studi tentang sastra hanya bisa didapat melalui sudut pandang pembaca. Karena itu jangan berani-beraninya menyebut diri sebagai penulis kalau karya-karyanya dibiarkan ngendon sampai wuelek di laptop en ga pernah berani mencoba mempublikasikan karya. Minimal jadi aktivis blogger en facebook kaya Neko inilah. Huahahahaha...

*Note: Siapa tuh? Wolfgang Iser? Dia bukan sodaranya Wolfgang Amadeus Mozart loh! Hehehe...Neko belum ngajak kenalan lebih lanjut. Yang jelas Neko nyomot nama beliau dari power point-nya Pak Karkono hihihihi

Untuk penjelasan simpelnya, tengok halaman-halaman Sastra dan resensi buku di kolom-kolom koran hari Minggu. Biasanya di sana ada pembahasan suatu karya sastra secara khusus. Entah cerpen atau novel. Sedangkan resensi lebih kepada promosi buku atau iming-iming agar pembaca koran pun tertarik untuk membeli buku tersebut. Karya-karya sastra yang demikian inilah yang bisa dibilang sebagai karya sastra yang benar-benar hidup. Karena selain sudah diterbitkan dan merambah masyarakat luas, juga sudah mendapatkan respon dari orang lain. Ketika teman-teman membuat resensi buku atau meresensi cerpen orang lain dan mempostinganya secara sederhana di blog masing-masing, itu berarti teman-teman sudah menghidupkan suatu karya sastra. Jaman sekarang, jadilah pembaca yang cerdas dan kritis, bukan hanya pasif. 

Ada banyak karya sastra atau buku-buku yang bisa mengubah dunia. Harry Potter, membuat genre dunia fantasy digemari lagi, minat baca anak-anak meningkat, dan banyak penulis-penulis cilik seperti Ataka dan lain-lain yang akhirnya bisa menerbitkan buku mereka sendiri di usia yang sangat muda karena terinspirasi oleh Harry Potter. Ada buku Negeri Bahagia  yang membuat dunia menyalurkan jutaan dollar bantuan demi menolong para penderita lepra yang tersingkirkan di India. Ada juga Totto Chan, yang memicu revolusi pendidikan di Jepang dan beberapa negara lain (Totto chan kabarnya kini menjadi bacaan wajib para pendidik di Jepang.)

I dare to say that this is my 2nd bible
Pada tahun 2000-an James Redfield pun menggebrak dunia materialisme barat dengan novel The Celestine Prophecy-nya. Buku itu membuat banyak masyarakat dunia barat berbondong-bondong menggali kembali konsep spiritualisme yang di negara mereka sudah aus. Fenomena buku ini di seluruh dunia mungkin bisa disamai oleh ESQ oleh Agus Ginanjar itu Lalu ada Laskar Pelangi, tetralogi yang benar-benar out of the blue. Kini banyak sekolah si beberapa daerah terpencil sudah didirikan dengan profit yang didapat Andrea Hirata dari hasil penjualan bukunya yang mega best-seller. Kini buku itu bahkan diterbitkan secara internasional. Jangan lupakan juga Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cinta-nya yang menghidupkan kembali khasanah karya sastra Islami yang berlandaskan pada moral dan tidak hanya nafsu birahi seperti pada "sastra-sastra parfum" umumnya (yang model gini mah bukan "Sastra Wangi". Istilah yang lebih tepat seharusnya SASTRA BUSUK!)



C. Kesimpulan

Hanya menjadi penikmat sastra boleh-boleh saja, tapi alangkah bagusnya jika teman-teman bisa mendapat nilai lebih dengan menjadi pembaca yang kritis. Tidak hanya keuntungan secara material (seperti uang jika artikel tentang sastra atau jika resensi bukunya dimuat  di media massa), tapi juga secara...hmm...spiritual. Karena membaca karya sastra adalah sarana pembebasan jiwa. Di sana kita bisa mengarungi suatu dunia yang benar-benar berbeda seperti Harry Potter, Alice in Wonderland, sampai Kerudung Merah Kirmidzi. Kita bisa mengalami pengalaman batin yang dilalui para karakter cerita untuk mengembangkan dirinya, hanya dengan berimajinasi.Bayangkan juga bagaimana bahagianya para penulis itu ketika hasil jerih payahnya berkutat selama ribuan jam di depan komputer atau mesin ketik kemudian mendapat respon dari pembacanya.

Pertanyaannya, apakah semua buku di atas bisa populer dengan sendirinya? Tentu tidak. Selain usaha keras para penulis, penerbit, dan distributor buku dalam memasarkan buku-buku itu, peran pembaca pun tak bisa diremehkan. Misalnya nih, banyak teman Neko yang awalnya nggak tertarik blas waktu melihat Novel Laskar Pelangi yang setebal bantal itu di toko buku. Neko sendiri tahu buku ini dari sebuah resensi di satu surat kabar ternama. Tahu apa kata salah satu teman Neko di forum penulis? "Apaan nih? Baca buku itu buku luar negeri, jangan yang dibikin ama orang Indonesia!" Tapi dia langsung mengubah pendapatnya setelah melihat komentar Garin Nugroho di  bawah buku itu! Setahun kemudian, sang teman dengan bersemangatnya mendatangi jumpa fans dengan Andrea Hirata di satu universitas ternama di Malang! Huakakakakakak! Orang-orang pun banyak yang tertarik dengan novel ini, baru setelah Kick Andy menayangkan ulasan tentang Laskar Pelangi.

The Celestine Prophecy awalnya juga tidak laku. Promosi dari mulut ke mulut-lah yang mendongkrak penjualan buku itu dengan drastis. Nah, sudah jelas kan betapa rekomendasi para pembaca, resensi , dan apresiasi ternyata sangat berpengaruh dalam menghidupkan karya sastra?


Ayo budayakan apresiasi sastra. Sekali lagi, jadilah pembaca yang kritis lagi kreatif

Cherio

Mizuki-Arjuneko (Koordinator Divisi Apresiasi Sastra FLP Malang)