LEGO FOTO ALA FAHRUL KHAKIM

Sumber : hereisthecity.com


Well, tahu nggak sih, tuips, beberapa penulis menggunakan foto real sebagai acuan karakter fiksinya, salah satunya, Fahrul Khakim.

Teknik ini pernah digunakan Fahrul dalam tiga cerpen dan dua novelnya, termasuk novel yang lolos ke lima besar jawara Lomba Tulis Nusantara 2014.Untuk fisik tokohnya, Fahrul mencomot karakter dari foto model-model di majalah. Apalagi untuk karakter khas ya, semisal wajah Jawa atau Jepang gitu, seperti tokoh dalam novel karya Fahrul

Mimin sebut ini sebagai teknik lego, yaitu bagian fisik tertentu - misalnya bibir - diambil dari foto yang satu kemudian bagian lainnya dari foto berbeda.
“Aku gabungkan tapi hasilnya deskripsi kata-kata,” tutur Fahrul. Sementara, karakter nonfisik diambilnya dari orang sekitar.
Memadupadankan fisik dari foto real sangat membantu dalam menghidupkan karakter. “Kalau kita mau mendeskripsikan orang itu cantik, kita harus punya ciri-ciri dan deskripsi yang jelas kan?” ujarnya.

Dengan teknik ini, selain imajinasi menjadi lebih kritis, penokohan jadi konsisten. Boleh dicoba nih, tuips.

Perangkai: Ummu Rahayu

KERJA KERAS DAN SHARING BERBUAH PRESTASI



Sharing karya FLP Malang berbuah prestasi, salah satunya, cerpen “Perempuan Tanpa Mata” karya Ariska Puspita Anggraini. Akumulasi kemampuan menulis dan kegigihan Ariska melahirkan cerpen Juara Favorit Kategori C di Lomba Menulis Cerpen Remaja 2013.

Cerpen yang bercerita tentang perempuan buruk rupa akibat perkawinan sedarah ini pernah mampir sekali di program sharing karya. Pada sesi ini, Ariska jadi tahu celah kesalahan dalam karyanya sebelum dikirim ke penyelenggara lomba. “Saya juga jadi tahu bagaimana meng-counter budaya dalam cerpen,” ujarnya.

Usai di-sharing karya, Ariska bukan ongkang kaki tetapi merevisi naskahnya hingga  tiga kali.  Manjur, karya inipun bertemu jodohnya.

SERUNYA KOLABORASI

Sumber : Kompasiana

Kolaborasi? Humm… Seru nggak ya? Efektif nggak ya? Ribet nggak ya? Jawabannya: ya, ya, ya, dan iya! Buat penulis pemula, kolaborasi bisa jadi pilihan. Selain menantang, kita bakal ketemu momen lucu di dalamnya.

Apa saja sih manfaat kolaborasi? Berikut ekstraksinya.

1.       Motivasi
‘Uh, pengen jadi penuliiiss pengen jadi penulisss pengen jadi penuliiisssss….’ Tapi nggak nulis nulis! Atau, selalu meninggalkan tulisan setengah jadi sehingga nggak jadi-jadi. Itu pertanda bahwa kita perlu dorongan dari luar, salah satunya dari kolaborasi. Kenapa? Karena, pertama, dengan mengajak partner  atau menerima ajakan partner, berarti kita terikat janji, sedangkan janji adalah utang, dan utang harus dibayar,  kalo nggak bayar, dikejar debt collector, lhoooo? Intinya, beban moral akan mendorong kita untuk menulis.
Kedua, asik nggak sih kalau kita berasa jadi agen rahasia pembawa misi perubahan? Berasa jadi Tom Cruise dkk dalam Mission Imposible, bedanya, action kita lewat tulisan. Ini bisa tumbuh dalam diri jika kita mengemban visi-misi yang sama dengan partner. Inilah yang bisa menambah semangat menulis kita.
Ketiga, kita berada di posisi aman untuk menulis nantinya, karena, kita dan partner akan saling membantu dan mengingatkan. Banyak di antara kita yang gamang menulis karena takut salah atau tidak percaya diri dengan penguasaan teknik, namun dalam kolaborasi, kita akan saling melengkapi.
2.      Disiplin
Biasanya, penyakit akut penulis pemula ialah tidak disiplin! Dalam kolaborasi, kita akan menetapkan konsep, target, dan jadwal sehingga rute pengerjaan menjadi jelas dan tertata. Beban moral terhadap partner bisa mendorong kita untuk menepati jadwal tersebut. Beruntung lagi jika level kedisiplinan partner lebih tinggi sehingga kita terbawa arusnya.
3.      Mematangkan ide
Dalam kolaborasi, sebuah ide bisa berkembang. Ide-ide datang dari kepala dan sudut pandang berbeda. Dengan perbedaan wawasan dan pengalaman, kita dan partner akan saling menyempurnakan dan mengevaluasi ide sehingga menjadi lebih kreatif dan matang. Kadang, ada ide yang dirasa sudah brilian, tapi dari sudut pandang lain, ternyata ide tersebut tidak logis atau jadul.
4.      Lebih kaya
Semakin beragam latar belakang dan pengetahuan penulis, semakin kaya sebuah karya. Misalnya, kita bisa menulis karya dengan warna profesi atau daerah asal partner. Pengalaman perjalanan yang berbeda bisa memperkaya setting dan konflik dalam tulisan. Misalnya, kita adalah pelancong koper sedangkan partner adalah pelancong ransel atau pecinta alam.
Selain itu, kita bisa juga kaya dari sudut pandang. Misal, kita dan partner adalah laki-laki dan perempuan maka kita bisa menulis karya dengan dua sudut pandang tersebut. Atau, sudut pandang dari seorang remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, pemalu, tegas, dan lain-lain yang merupakan karakter kita atau partner.
5.      Banyak referensi
Pertama, referensi ide. Ide yang berbeda lahir dari wawasan dan pengalaman berbeda. Misal, partner mengetahui tentang gangguan psikologi tertentu sehingga bisa menjadi ide untuk meramu karakter dan konflik cerita. Contoh lain seperti isu pengurangan populasi manusia, daur ulang obat, penyalahgunaan frekuensi publik, dan lain-lain.
Kedua, referensi baik terkait teknik menulis maupun dunia dan tipe karya yang sedang ditulis. Kita dan partner bisa saling merekomendasikan buku apa yang perlu dibaca. Apalagi jika rekomendasi itu merupakan hasil membaca langsung sehingga tepat sasaran. Misalnya, rekomendasi buku meramu konflik, menciptakan karakter, buku dengan genre yang sama, atau buku terkait profesi  atau konflik yang akan ditulis, dan lain-lain.
6.      Saling melengkapi
Kolaborasi menyatukan berbagai kemampuan sehingga saling melengkapi. Dengan begitu, kolaborasi bisa menjadi ajang saling belajar. Misalnya, kita unggul dalam menciptakan konflik sedangkan partner unggul dalam menentukan ending. Atau, partner unggul dalam menentukan peristiwa, kita unggul dalam menciptakan proses agar peristiwa tersebut terjadi.

Waw, tertarik berkolaborasi? Eits, ketahui dulu tantangannya berikut ini.
1.       Saling menghargai dan terbuka
Untuk membuat konsep, kita harus menyatukan berbagai ide, di sinilah diperlukan saling menghargai. Jikalau ada kelemahan partner, kita perbaiki. Kadang-kadang, kita juga harus ikhlas saat partner bilang, “Itu sinetron, itu klise,” atau “Tokoh ini tidak akan bertindak ‘begini dan begitu’.”
2.      Menyamakan persepsi
Konsep berdarah-darah sudah dibuat, tapi perbedaan pemahaman bisa membuyarkannya. Kita ditantang dengan rumitnya menyatukan pemahaman karakter. Bisa jadi, adegan yang kita buat merepresentasikan karakter yang bertentangan dengan konsep atau yang dibuat oleh partner. Kalau sudah begini, kita perlu menulis ulang. Jadi, kita juga harus membaca apa yang dibuat oleh partner.
3.      Menyamakan gaya bahasa
Gaya bahasa bisa sedikit berbeda jika memang kita dan partner berperan sebagai tokoh yang berbeda misalnya laki-laki dan perempuan. Agak rumit, jika kita dan partner memerankan tokoh yang sama. Diperlukan pemahaman gaya bahasa yang sama baik terkait segmen pembaca maupun penggunaan kata ganti subjek. Misal, kita menulis dengan gaya dewasa sedangkan partner menulis dengan gaya remaja. Atau, kita menulis dengan kata ganti ‘kamu’ sedangkan partner menulis dengan kata ganti ‘kau’. Begitu juga dengan ‘tidak-tak-nggak’, ‘ibu-mama-bunda’, ‘Dek-dik’, dan sebagainya.

Oww oww…. Tenang… Selalu ada jalan bagi orang yang suka tantangan. Kolaborasi tidak akan berhasil jika kita menganggapnya sebagai ‘ring tinju’. Tetapkan dalam hati bahwa kolaborasi adalah ajang untuk saling menyemangati, belajar, dan melengkapi. Sama halnya dengan menulis, kolaborasi memerlukan komitmen dan disiplin untuk menyelesaikan.

Jika kita bisa melewati semua ini, kita akan berhasil menggendong bayi karya kita, melihatnya membuka mata dan tertawa. Bahkan, kita bisa mengirimkannya ke lomba. Walau belum rejeki, karya yang sudah jadi bisa kita revisi dan dikirim lagi.

Nah, selain lahirnya karya, kita bisa dapat bonus momen lucu macam yang pernah dialami FLP-ers ini.

Maulida Azizah (Anggota Divisi Pembakardiriku, orang tua “2B”, dan “Senyawa”)
Kolaborasi itu asik. Kita akan mendiskusikan sesuatu yang tidak ada (fiktif). Kita akan berdiskusi untuk menentukan siapa tokoh kita, kenapa, dan bagaimana latar belakangnya, serta apa masalah hidupnya. Kadang-kadang, saya dan partner menertawakan tingkah tokoh fiktif kami sendiri atau ide-ide gila kami. Kami juga kadang sama-sama ngotot untuk menentukan bagaimana tokoh bertindak. 

Mahfuz TNT (Ketua FLP Malang, orang tua “Senyawa”)
Momen lucu yang pernah saya alami itu, ketika alur cerita yang kami buat nggak nyambung sama sekali. Saya ceritakan tingkah cewek yang tolol, goblok, edan, aneh sementara di ujung dunia sana, partner saya membuat adegan yang menunjukkan cewek tersebut jenius. Gimana nggak pencet Ctrl+a>del?

Ummu Rahayu (Anggota Humas, orang tua “2B”)
Pasca-pengiriman naskah kami diwarnai kecelakaan kendaraan bermotor. Siapa pelakunya? Saya! H-1 event, Maulida dan saya baru mengedit naskah. Alamak! H-semalam, kami baru konsultasi sinopsis kepada Mashdar Zainal. H-dua jam, naskah baru digabung, membuat surat kelengkapan, lalu di-print. H+beberapa menit, kita kebut-kebutan di jalan. Fiuh, untung selamat sampai tujuan dan masih ada kesempatan. Sepulang dari event itu, karena kurang sabaran, motor saya yang memotong tikungan, diterjang. Alhamdulillah, saya dan Maulida direpotkan oleh sebuah pertanggungjawaban untuk membetulkan motor korban yang berantakkan.

Nah, begitulah kiranya kolaborasi yang menantang tapi seru dan bermanfaat terutama bagi penulis pemula. Berani mencoba?