(DAS COMPARATED FICTIONS) KUCING KEHUJANAN (Cat In The Rain), Ernest Hemingway

Pendahuluan...

Hehehe...masih nyambung dengan postingan cerpen karya Vega El-Vaza kemarin yang berjudul Kota yang Dijanjikan


Ada tanggapan yang sangat menarik dari Pak Rahadi Widodo, salah satu anggota Divisi Pengembangan Karya terkait pertemuan minggu lalu. Berikut kata-kata beliau yang Neko kopas langsung dari FB Group FLP Malang 2012.


"Kemarin Mbak Puput bilang bahwa teman-teman perlu ada materi tentang penyusunan dialog dalam sebuah cerita, karena sudah dua kali sharing karya di UIN selalu menampilkan karya yang isinya narasi melulu, miskin dialog. 

Nah, sebagai pendahuluan untuk materi tersebut, berikut saya tampilkan contoh cerpen yang kaya dialog, salah satu ciri khas dari Ernest Hemingway, penulisnya. Judulnya Cat in The Rain. Silakan membacanya dulu, besok saya akan membahasnya sebagai pembanding terhadap cerpen Mbak Vega, Kota yang Dijanjikan. Cocok karena sama-sama pendek, hanya 4 halaman A4, dan sama-sama berpusar di sekitar perasaan (wanita), tapi ditulis dengan gaya yang berbeda.

Karya ini juga sebagai alternatif bagi teman-teman FLP yang sudah tertular virus-virus Mashdar Zainal, Ai El Afif, maupun Muhammad Hafidz Mubarok yang sedang merajai saat ini (hi hi... sorry). Sebuah karya cerita tanpa gaya bahasa puitis, tanpa metafora, tanpa diksi yang muluk-muluk, tapi tetap "terasa" di hati."


Wow...tanggapan seperti ini nih yang diharapkan oleh Divisi Apresiasi Sastra. Menyenangkan ketika pembahasan satu karya (Kota yang Menjanjikan) dapat berujung pada diskusi-diskusi lebih mendalam seputar dunia sastra. Dalam sastra memang ada metode membandingkan dua karya atau lebih yang memiliki beberapa kesamaan yang menarik untuk diamati (metode komparasi). Usulan Pak Rahadian untuk membandingkan gaya penulisan puitis nan minim dialog Mbak Vega dengan gaya penulisan Ernest Hemmingway yang cenderung lugas dan kaya dialog, jelas usulan yang hebat. Aye suka gaya Bapak!  Heheheh....

Kebetulan Neko sendiri termasuk jenis penulis yang lebih suka main dialog ketimbang narasi. Well...seperti apa sih karya salah satu penulis terkemuka itu yang akan dijadikan studi komparasi kali ini? Let's check it out!

Cat In The Rain
Ernest Hemingway



Sepasang suami istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang orang yang lalu lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulang pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang. Ada pohon palm besar besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warna warna cerah dari hotel hotel yang menghadap ke taman taman dan laut.

Di depan monumen perang tampak iring iringan wisatawan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohon pohon palm tadi. Air berkumpul memben¬tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulung gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.

Si Istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapat rapat agar tidak ketetesan air.

“Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar Si Istri.

“Biar aku yang melakukannya untukmu,” kata  suaminya  dari tempat tidur.

“Tidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kasihan, kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.”

Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.

“Jangan berbasah basah!” Ia memperingatkan.

Si Istri turun ke bawah dan Si Pemilik Hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi melewati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang laki laki tua dan sangat tinggi.

Il piove,” ujar Si Istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.

Si, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.”

Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si Istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesi¬nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besar besar.

Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, Si  Istri membuka pintu dan menengok keluar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang laki laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin hewan itu tadi berjalan di bawah atap atap. Ketika Si Istri masih termangu di pintu masuk, seseorang membukakan payung di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.

“Anda jangan berbasah basah.” Wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.

Bersama pelayan wanita yang memayunginya, Si Istri berjalan menyusuri jalan berkerikil hingga akhirnya berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tiba tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.

“Ha perduto qualque cosa, Signora?”

“Tadi ada seekor kucing,” jawab Si Istri.

“Seekor kucing?”

“Si, il gatto.”

“Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah guyuran hujan?”

“Ya,” jawabnya. “Di bawah meja itu....” Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.”

Ketika wanita itu berbicara dalam bahasa Inggris, wajah si pelayan menegang.

“Mari, Signora,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.”

“Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu.

Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuatnya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolah olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.

“Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku.

“Ia lenyap.”

“Kira kira tahu kemana perginya?” tanya Si Suami sambil memejamkan mata.

Si Istri duduk di atas ranjang.

“Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.”

George meneruskan membaca.

Si Istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.

“Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan panjang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.

George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti laki laki.

“Aku suka seperti itu.”

“Aku sudah bosan begini,” kata Si Istri. “Aku  bosan kelihatan seperti laki laki.”

George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.

“Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.

“Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.”

“Yeah?” komentar George dari ranjangnya.

“Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilin lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin baju baju baru.”

“Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.

Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohon pohon palm masih jatuh tetesan tetesan air.

“Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya. “Aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang pan¬jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.”

George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.

Seseorang mengetuk pintu.

“Avanti,” kata George. Ia mendongak.

Di pintu masuk berdiri si pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit kura kura dan mengulurkannya pada Si Istri.

“Permisi,” sapanya. “Pemilik hotel mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.”

Tamat


ERNEST HEMINGWAY lahir di Illionis pada tahun 1898. Semula ia menjadi sukarelawan sopir ambulans pada masa Perang Dunia I. Sebagai seorang perantauan di Paris, ia meraih sukses pertama kali dengan ceritanya In Our Time. Di antara novel novelnya adalah The Sun Also Rises dan A Farewell to Arms. Ia meninggal pada tahun 1961. 



Judul asli cerita ini Cat In The Rain, diambil dari buku Ernest Hemingway Short Stories hal 265 268. Alih bahasa oleh Syafruddin Hasani (dengan sedikit editan dari Rahadi W.)


Catatan Penutup

Gimana cerpennya? Asyik kan? Cerita-cerita yang menggambarkan gejolak hati maupun kegalauan perempuan pasti menarik (teeheeheee :p)... Apalagi jika ditulis oleh penulis sekaliber Ernest Hemingway. Kalau Readers pingin tahu lebih banyak lagi soal pembahasan makna cerpen ini, coba cek wikipedia "Cat In The Rain". Kalian juga bisa datang ke pertemuan FLP Malang Minggu besok, 29 September 2013, untuk membahas cerpen di atas bersama kami.

Ja Ne... =D


Sub Divisi Kritik Sastra

Related Links: