ASK MASHDAR: Memilih Diksi dan Menyampaikan Pesan Dalam Cerpen

Berikut merupakan transkrip diskusi tentang :
Salah satu transkip diskusi seru yang telah menjadi artefak. :v
"Tentang Memilih Diksi" dan "Bagaimana menyampaikan pesan dalam cerpen."

#Mashdar Zainal:
Maaf, sore-sore baru buka lapak. Silahkan yang mau tanya seputar fiksi. Hari ini jadwalku 'ngisi lagi', seperti biasa, pertanyaan pertama yang akan kita bahas...
 2 Februari pukul 14:24

#Ain Nur, #Fauziah Rachmawati dan 2 orang lainnya menyukai ini.

#Mashdar Zainal: mention Lin Wulynne, Gusti Aisyah Mizuki-Arjuneko, Fauziah Rachmawati, Heni Syakarna, Cak Dayat, Mahfuzh Tnt, Muhammad Hafidz Mubarok, Ain Nur, Widiya Dewi, Arif Bawono Surya, dll... seretin temen2 yang belum ya...
                                                      2 Februari pukul 14:25 

#Ummu Rahayu:
Mas, gimana caranya menyeimbangkan kadar istilah-istilah baru dalam novel? Maksudnya, kan ada tu idiom-idiom yang jarang, sama istilah-istilah yang jarang ditampilkan gitu... Biar menambah informasi baru dalam tulisan. Nah, bagaimana menyeimbangkan itu? Kadang kan bisa males kalo banyak kata-kata yg tidak kita mengerti. Kapan kita bisa menggunakan itu? Saat yang tepat itu gimana?

Sama... dalam cerpen bisa ga kita menjelaskan seting misalnya dalam kamar itu ada meja dua buah, di atasnya ada piring, bak berkaki, sendok, nasi... di meja lainnya terdapat teko dengan tulisan teh atau kopi dengan jejeran gelas dan air mineral di samping kiri dan kanannya? (Hoho berapa pertanyaan sudah?)  Sebenarnya banyak yang mau dtanyakan nih mas. :D  
2 Februari pukul 16:54

#Ummu Rahayu: Oh iya Mas... dalam menulis itu menetapkan pesan moral dulu apa pesan moral biarlah muncul dengan sendirinya dalam tulisan
2 Februari pukul 16:57

#Mashdar Zainal:
Ummu Rahayu, pertanyaanmu satu RT full. Hmmm cara menyeimbangkan pilihan diksi? Saya pikir itulah novel. Memang harus kaya kata-kata sehingga bisa mendeskripsikan sesuatu dengan powerful. Soal idiom, atau diksi2 tak biasa, kau bisa menggunakan sesuai kebutuhan. Lalu kapan dibutuhkan? Kalau saya sendiri menyebutnya "nyastra". Ada beberapa kalimat yang butuh kata-kata tertentu untuk mengindahkan kalimat tersebut. Dan sebaliknya, terkadang kata indah/ idiom/ ilmiah akan menjadi garing bila kita salah menempatkan. 

Contoh kongritnya (lagi-lagi) kita harus tengok karya-karya keren yang sudah ada. Bagaimana para penulis itu menempatkan kata sesuai pada tempatnya....
2 Februari pukul 17:34

#Mashdar Zainal: Ummu, soal pesan moral, dari pengalaman, saya cenderung memulai menulis dulu (tak pedulu ada pesan atau tidak). Tapi setelah selesai, saya coba baca berulang-ulang, adakah sesuatu yang mungkin bisa diselipkan untuk disampaikan? Dan saya selalu menemukan ADA. Akan selalu ada, meski itu sangat kecil.
2 Februari pukul 17:35 ·

#Muhammad Hafidz Mubarok: ‎Ummu, yang saya tahu ada teknik namanya open up. Jangan dulu berpikir judul, jangan dulu berpikir pesan atau amanat,dan jangan pernah berpikir baiknya seperti apa. Kata Pak Hernowo, "Itu semua hanya membuang waktu."

Tulis saja semua gagasan, setelah selesai koreksi bukan edit. Jadi hilangkan yang sekiranya sampah, dan bumbui yang sekiranya menarik. Nuwus
2 Februari pukul 17:57 

#Mizuki-Arjuneko: Tapi setiap karya kan harus ada pesan moralnya. Bukannya itu salah satu prinsip FLP (n Islam)??? @_@
2 Februari pukul 17:59 ·

#Muhammad Hafidz Mubarok: Jangan salah paham, Neko. Pesan moral memang harus ada, tapi jangan sampai membebani kita. Terutama jika ingin memulai sebuah tulisan. Kalau belum-belum sudah terbebani moral, yang terjadi tulisan kita malah terkesan menggurui. Pembaca mana yang suka digurui?

So, teknik terbaik, jangan berpikir apapun ketika ingin menulis. Indah atau tidak, sesuai prosedur atau cabang, kita urusi belakangan. Saya kira Ummu bertanya seperti itu karena lebih dulu takut untuk menulis, apakah tulisannnya sesuai islami atau gak.Itu yang menjadi big problem
2 Februari pukul 18:03

#Ummu Rahayu: Huuummmmm asssiiiikkkk.... Terima kasih Mas Mashdar Zainal, terima kasih Mas Muhammad Hafidz Mubarok ^_^V
4 Februari pukul 22:55

END NOTES:
Yap, itulah laporan diskusi fiksi di lapak Mashdar Zainal (tentu saja ada beberapa hal yang diedit, dan disesuaikan. Komentar-komentar yang ditampilkan adalah komentar yang masih sesuai dengan isi diskusi. Juga ada penyesuaian beberapa ejaan dan diksi)

Sebenarnya untuk pemunculan moral atau pesan dalam karya sastra itu adalah keharusan menurut teori Dulce et Utile. Dulce (sweet/indah), Utile (berguna). Dicetuskan oleh Horacio, filsuf Yunani klasik. Bisa dipelajari lebih detail di buku Teori Sastra atau Literary Theory, yang ditulis oleh Wellek dan Warren. Inti dari konsep ini sebenarnya sangat sederhana. Bahwa  sebuah karya sastra harus indah, sehingga menghibur pembacanya, dan berguna, sehingga mencerdaskan pembacanya. 

Karena untuk apa karya yang rumit, susah dipahami, dan memakai bahasa yang muluk-muluk kalau pada akhirnya tidak membawa pesan positif bagi pembacanya kan?

Nah, bagaimana diskusi di atas? Seru kan? Berbagi memang nggak pernah rugi. Thanks buat Ummu Rahayu yang sudah memulai diskusi ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik. Juga buat Hafidz yang sudah ikut berusaha memberi pencerahan. Terlebih lagi, thanks a lot buat Mashdar Zainal yang sudah meluangkan waktu untuk berbagi ilmu di lapak ini. Sukses dengan karya-karya barunya, Pak. ^_^b

Profil Mashdar Zainal.

Mashdar Zainal adalah nama pena dari penulis kelahiran kota Brem, Madiun, ini. Beliau dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1984, dengan nama Darwanto. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di tanah kelahiranya, Usai lulus MTs. Ia merantau ke Nganjuk, untuk belajar nyantri. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar ia sudah bersahabat karib dengan buku, khususnya komik dan buku cerita.

Selain membaca dan menulis tentunya, sejak kecil ia juga paling gemar melukis, buku-buku pelajarannya selalu penuh dengan puisi dan gambar-gambar. Cita-cita kecilnya menjadi seniman, seiring berjalannya waktu ternyata ia lebih suka menjadi seniman tinta.

Akhir tahun 2007, pria yang biasa di panggil Mashdar ini sukses menyelesaikan studinya di Fakultas tarbiyah  UIN Malang dengan predikat sangat memuaskan. Saat ini ia tengah mengajar di SDIT Insan Permata Malang. Bergiat juga di Komunitas Sastra Lembah Ibarat Malang. Organisasi kepenulisan yang masih aktif ia tekuni salah satunya ialah Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Malang.

Beberapa kali ia menjuarai Lomba Kepenulisan Cerpen dan Puisi, dari Tingkat Lokal sampai Tingkat Nasional. Terakhir, dia mendapat predikat “Penyair Hijau” sebagai juara harapan III Lomba Cipta Puisi bertajuk “Puisi Hijau”, yang digelar oleh Harian Online Kabar Indonesia (HOKI). Dua cerpennya Laron (2011) dan Pohon Hayat (2012) sudah berhasil menembus rubrik cerpen media nasional bergengsi, Kompas. Cerpen-cerpennya bertebaran hampir tiap minggu di berbagai media seperti Jawa Pos, Journal Cerpen, etc.

Beliau sudah menerbitkan satu novel di bawah penerbit Pro U Media, Zalzalah. Novel keduanya, BLACK JASMINE sedang dalam proses penerbitan di penerbit yang lain. Sungguh penulis yang sangat produktif. Impiannya adalah melihat karyanya difilmkan oleh sineas-sineas jempolan.



Bagi pembaca yang ingin bersilaturrahim dan berbagi ilmu melalui kirtik, saran, ataupun tanggapan bisa langsung mengirim e-mail ke mashdar.zainal@yahoo.co.id, bagi yang ingin lebih mengenal sosoknya silahkan singgah ke gubuk mayanya dengan alamat www.mashdarzainal.blogspot.com

Tips Tembus Kompas

Kompas

Penulis fiksi? cerpen ya? cocok sekali dengan artikel ini. Sebagaimana pekerjaan-pekerjaan lainnya, menulis juga mempunyai jenjang-jenjangnya. Kita bisa melewati berbagai jalur untuk mencapai karir menulis yang baik. Fiksi, terutama yang melewati jalur serius, maksud saya diperhitungkannya aroma sastra dan isu secara lebih. Seperti Sapardi, Seno Gumira, Mashdar Zainal, maupun Ai El Afif. Masuk ke Kompas merupakan salah satu indikator bahwa harum teknik bercerita kita sudah mewangi. Meskipun bukan satu-satunya.

Karena itu, kenapa Kompas sangat susah untuk ditembus. Bahkan ada penulis yang setelah mengirim cerpen keseratus baru terbit. Kompas sangat selektif dengan cerpen yang masuk. Ada redaksi yang sangat kompeten di sana yang siap membantai cerpen kita. Tak boleh ada cacat sedikit pun. Bisa dikatakan mereka akan tahu jika kita menyembunyikan upil di balik sela meja cerpen kita.

Berikut ini saya ringkasan beberapa tips agar cerpen kita bisa tembus Kompas. Tips ini berasal dari salah satu redaktur cerpen mingguan Kompas, Fajar Arcana.

Pertama, kita harus taat aturan. Tapi fleksibel. 

Seperti sepuluh ribu karakter, bahasa Indonesia yang baik, mengurangi salah tulis. Semuanya wajib diikuti. Tapi misal hanya mencapai sembilan ribu karakter, itu tak terlalu masalah. Asal tidak sampai hanya setengah dari aturan, atau dua kali lipatnya.

Kedua. Tema Bebas.

Tema yang diambil boleh dari manapun. Semakin kreatif dan imajinatif karya tersebut, semakin bagus. Ekplorasi sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya sebuah cerita. Baik itu realis, surealis. Bebas.

Ketiga, Alur

Cerpen Kompas mengutamakan alur yang saling tersambung dan utuh. Dan disampaikan dalam bahasa dan alur yang kreatif. Haram hukumnya cerpen yang mempunyai topik cerita yang sudah umum, apalagi alurnya sangat monoton. Ketika kita membolak-balik cerita kita. Bisa kita temukan celah-celah yang akan bisa mengikat ketertarikan pembaca.

Keempat, Cerpen Kompas bukan Artikel

Ada rubrik tersendiri ketika ingin menyampaikan gagasan dalam bentuk esai. Begitu juga dengan puisi. Cerpenmu tak akan masuk jika penuturannya mirip esai maupun puisi. Harus dalam bentuk prosa yang memikat. Namun jangan terlalu lebay. Memikat tapi singkat, lugas, dan bernas.

Kelima, Ada Nilai di Sana

Berbeda dengan cerpen teenlit, cerpen Kompas bisa kita deskripsikan sebagai cerpen berat. Sehingga selain menghibur, harus ada isi di dalamnya. Ada ilmu yang bisa diambil pembaca. Setelah membaca ada bekas di hati. Itulah ciri khas cerpen di Kompas.

Terakhir, Bebal!

Seperti awal artikel. Banyak cerpenis di Kompas harus beberapa kali ditolak baru bisa diterbitkan. Jika baru sekali ditolak, lalu menyerah. Memang mungkin kamu tak bakal punya cerpen di Kompas. Karena ada yang harus ditolak dua puluh, bahkan ratusan kali. Maka dari itu beballah! Menulis-Kirim-Menulis lagi.

Belanja Online Makin Mudah dan Menyenangkan bersama Shopious.com



Jika Anda suka browsing untuk mendapatkan barang atau jasa yang Anda butuhkan, inilah solusi menyenangkan untuk Anda. One stop online shopping yang efektif bisa sangat membantu Anda memanfaatkan waktu Anda. Tak hanya itu, Anda akan bisa memperbandingkan barang dan harga, di tempat yang sama. Mommies, jika Anda butuh baju-baju lucu untuk buah hati dan untuk mommies; anak-anak muda nan gaul, jika kalian fashionable dan suka hunting outfit keren dan nyaman; banyak juga aksesoris gadget yang makin memudahkan Anda; dan banyak lagi.

Juni 2013 lalu telah dirilis hasil sebuah riset tentang kemajuan internet yang menyatakan bahwa transaksi jual-beli online akan mengalami peningkatan yang pesat sampai 17%, mencapai $ 1,2 triliun di seluruh dunia pada tahun yang sama. Kawasan Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara, diprediksi akan menjadi pusat perkembangannya sehingga akan sangat banyak investor kelas kakap yang menjadikannya primadona utama untuk mengembangkan bisnis mereka. Tidak hanya mereka, investor kecil pun mulai merintis bisnis start up mereka di kawasan Asia Tenggara ini.

Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), pada tahun 2014 pengguna internet tercatat kurang lebih mencapai 82 juta jiwa di Indonesia. Diperkirakan jumlah ini akan terus naik hingga 100 juta jiwa di tahun 2015.

Kenyataan ini membuat masifnya start up bisnis bidang e-commerce di Indonesia. Berbagai start up memberikan terobosan konsep baru dalam industri e-commerce: mulai dari menawarkan harga yang sangat terjangkau, barang berkualitas, hingga testimoni customer yang memikat.

Shopious.com adalah salah satu start up yang meramaikan industri toko online Indonesia. Tak seperti situs toko online lainnya, situs satu ini unik. Bisnis model Shopious.com mengadopsi model customer to customer (C2C) atau sering disebut marketplace. Dengan konsep C2C atau marketplace, situs Shopious.com menjadi wadah tempata bertemunya penjual dan pembeli. Ini sangat menguntungkan bagi semua pihak. Para penjual akan mendapatkan berbagai macam pembeli yang potensial sehingga probabilitas mencapai keuntungan semakin tinggi. Sebaliknya, para pembeli akan lebih puas karena mendapatkan variasi pilihan produk yang lebih banyak, plus harga yang kompetitif dari ribuan lapak penjualan. Hubungan mutualisme yang saling menguntungkan ini adalah konsep mendasar yang ingin dikembangkan oleh Shopious.com.

Cara Belanja di Direktori Shopious.com

Setelah mengenal direktori toko online Shopious.com di atas, silakan gali lebih jauh lagi tentang cara belanja online di Shopious.com. Mari kita lihat lebih dalam dan semoga bisa berguna ke depannya. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.       Pertama-tama buka situs Shopious.com di browser Anda.
2.       Lalu carilah produk yang Anda beli. Temukan produk tersebut, lalu klik pada gambar produknya.
3.       Kemudian silakan klik contact dari toko online tersebut, hingga tampil di layar Anda nomor telepon, kontak BBM, nomer whatsapp, atau ID media sosial yang bisa Anda hubungi. Silakan Anda hubungi toko online tersebut contact yang tersedia.

Jadi di sini, secara umum, Shopious.com berperan untuk menghubungkan para penjual dan para pembeli potensial. Sedangkan untuk pembeliannya, silakan dilakukan dengan cara langsung menghubungi contact toko online masing-masing.

Empat Unsur dalam Feature

anneahira.com
Terkadang ketika membaca berita kita dibawa emosi. Kesal dengan kelakuan pelaku kejahatan. Geram dengan para pencuri. Atau bahkan menangis kasihan dengan kondisi hidup orang lain.

Di dalam non fiksi tulisan tersebut disebut feature (baca : ficer). Feature menggabungkan berita dengan opini. Di dalamnya mengandung human interest dan memiliki gaya penulisan yang bisa dikategorikan sebagai sastra.

Contohnya?
Kini Mobil Listrik Harus Berknalpot
Jalan-Jalan ke Sana'a
Peneliti Indonesia Kaya Raya 
Ada opini atau pendapat yang dimasukkan ke dalam berita tersebut. Baik atas nama pribadi maupun organisasi, feature akan mengarahkan pembaca pada satu topik khusus. Maka dari itu sangat normal jika suatu feature penulisannya sangat subyektif. Penulis berusaha menghadirkan perspektif baru dalam sebuah kasus. Sehingga didapatkan cara pandang yang lebih luas. Namun mayoritas feature bertujuan sesuai dengan afiliasi penulis maupun komunitasnya. Misalkan saja FLP Malang diberikan berita tentang korupsi. Fokus utamanya bukan lagi bagaimana koruptor dihukum berat. Melainkan akan mengarah ke kepenulisan. Seperti bagaimana hubungan budaya korupsi dengan minat baca masyarakat.

Feature memiliki empat unsur.

  1. Fakta atau berita lunak
    Ini merupakan unsur utama yang akan dibahas penulis. Kasus yang akan menjadi sorot utama. Di dalam mengambil berita tak bisa sembarangan sesuai keinginan penulis. Harus sesuai berdasarkan fakta yang ada.
  2. Opini atau pendapat dan perspektif penulis
    Dalam hal ini penulis bebas mengarahkan tulisannya. Di sini kita bisa mempermak fakta yang ada agar menguntungkan kita. Atau kata lainnya kita bisa mengambil sudut lain dalam sebuah permasalahan, dengan tambahan-tambahan opini atau perspektif penulis.
  3. Sastra
    Kenapa tulisan non fiksi harus menggunakan sastra? Menulis feature itu seperti kita menulis sebuah cerita namun berdasarkan fakta yang ada serta informatif. Sehingga sastra digunakan untuk menarik pembaca.
  4. Human Interest
    Untuk menghibur dan menggugah emosi pembaca. Ada bagian-bagian dalam berita yang lebih ditonjolkan, demi menyentuh sisi manusiawi pembaca. Maka dari itu feature lebih mengarah ke berita yang melalui perasaan daripada logika.

(DAS EDITORIAL): Teori Resepsi, Metamorfosa Karya Sastra (revised edition)

 A. Teori Resepsi dan Intertekstualitas (Prelude)

Yak ketika Neko untuk pertama kalinya duduk bersama para brondong angkatan 2011 di kelas Teori Sastra yang dipegang Pak Karkono dari Jurusan Sastra Indonesia, Neko langsung disuguhi dua nama teori di atas. Jujur saja, karena pernah nggak mudeng dan akhirnya dapat nilai aib pas Neko mengikuti mata kuliah ini di jurusan Neko, Neko agak alergi sama yang namanya –isme-isme. Tadinya satu-satunya yang Neko tahu dari mata kuliah Teori Sastra yah…mata kuliah yang full of isme-isme ini. Ada formalisme, strukturalisme, post-modernisme, feminisme, dan Neko cuma tahu sekedar nama…doang! Kalau ditanya makanan apa sih nama-nama aneh di atas? Jawabannya: Meneketehe? Apalagi, apaan tuh resepsi? Setahu Neko “resepsi” itu ya sama dengan “kondangan”. Hrr… Neko pernah mencoba membuka Wikipedia dan yang tertulis di sana benar-benar nggak membantu. Tahu sendiri serumit apa gaya bahasa Wikipedia dalam bahasa Inggris itu.  Dan dasar Neko sama sekali nggak punya background knowledge tentang isme-isme di atas, makin blank-lah Neko. 
"Allahuakbaaar!!! Anda itu ngomong apa seh??? Pakek bahasa kucing dooong!"
(kira-kira beginilah tampang Neko saat dosen Neko dulu  mulai ngomongin isme-isme yang bejibun tapi absurd itu...)
Bagaimana dengan buku teksnya? Huff…udah fotokopian, tulisan kecil-kecil dengan model ketikan, nggak ada gambar-gambar lucunya, ditulisnya pakai bahasa Inggris semua pulak! (Jdhang! Ya iyalah dhodhooll…emang kamu pikir kamu sedang kuliah di jurusan apaa???)
Nah, apakah jika mata kuliah ini disajikan dalam bahasa Indonesia lalu materinya bisa diterima oleh otak Neko yang super simple ini?
Neko saat berusaha menyimak penjelasan dosen Literary Theory
(Inilah yang dimaksud dengan 'tidur dengan mata terbuka' haahaha)
Hm…yang jelas kali ini dalam mengantarkan para mahasiswanya untuk memahami materi mata kuliah, sang dosen lebih sering menjelaskan tiap-tiap teori dengan contoh-contoh karya sastra yang sudah dikenal para mahasiswanya seperti, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Perempuan Berkalung Sorban, dan baladewanya. Akhirnya itu yang bikin anak-anak di kelas termasuk Neko menjadi lebih bergairah dalam mengikuti diskusi-diskusi yang ada. Semua orang juga pasti akan lebih bersemangat ketike membicarakan hal-hal yang mereka tahu kan? Dosen Neko yang dulu tentu saja bersemangat memberikan kuliah, karena jelas ia menguasai materinya di luar kepala. Tapi bagaimana dengan Neko yang saat itu datang ke perkuliahan hanya dengan modal pantat? =_=” Hufff…
So, apa sih intertekstualitas itu? Dan apa hubungannya teori resepsi dengan kondangan? Apakah teori resepsi itu adalah teori tentang trik-trik menghadiri resepsi seperti cara jitu untuk mencicipi semua hidangan prasmanan tanpa dibilang “nggragas”? Hahaha…sebelum Neko semakin ngaco…(efek insomnia ternyata segeje ini, Saudara), berikut contoh simple  yang diberikan oleh Bapak dosen kepada kami:
Adaptasi dari novel Ayat-Ayat Cinta menjadi Film Ayat-Ayat Cinta yang diperankan Fedi Nuril dan Riyanti Catwright itu berhubungan dengan teori resepsi. Sedangkan ketika ada sebuah teks klasik nan legendaris “PANJI INUKERTAPATI”, yang kemudian menjadi model atau inspirasi beberapa cerpenis jaman sekarang untuk membuat cerita cross-over, dengan seting dan tokoh sama, tapi dengan sudut pandang yang berbeda, dan hasilnya menjadi cerita yang memberikan ‘rasa’ yang berbeda pula, itu baru berhubungan dengan teori intertekstualitas.
 VS


 Adaptasi novel AAC ke dalam format layar lebar dianalisa dengan memakai TEORI RESEPSI


Lukisan Pangeran Panji Inukertapati mencari istrinya yang hilang, Dewi Sekartaji. Cerita Panji adalah epik terbesar dalam kutur folklore Jawa. Cerita ini sudah memiliki banyak versi (Bali, Jawa, Kalimantan), bahkan sampai ke mancanegara (Myamnar, Filipina, Thailand, dan Kamboja). Varian cerita ini sangat banyak di antaranya Ande-Ande Lumut dan Keong Mas. Cerita Panji ditampilkan dalam berbagai media seperti tari tradisional, dan wayang orang. Banyak sastrawan Indonesia jaman sekarang yang terinspirasi untuk membuat cerita dengan model Cerita Panji. Karya-karya inilah yang kemudian dimasukkan dalam ranah intertekstualitas.
.

Lukisan Bali yang menggambarkan Pangeran Panji bertemu dengan 3 perempuan di hutan

Keterkaitan teks Lakon Cerita Panji dengan teks-teks lain seperti Keong Emas, Ande-Ande Lumut, atau cerpen-cerpen masa kini dianalisa dengan menggunakan TEORI INTERTEKSTUAL

B. Contoh-contoh Hasil Resepsi

Untuk contoh yang pertama, Neko pikir udah lumayan jelas maksudnya. Teori resepsi banyak berhubungan dengan proses adaptasi satu karya sastra ke karya baru atau karya dengan menggunakan media penyampaian yang baru. Contohnya seperti adaptasi dari novel ke film (Ayat-Ayat Cinta, Harry Potter, Eragon, etc), film ke novel (Naga Bonar Jadi 2, Biola Tak Berdawai, Brownies, etc)game ke film (Tekken, Street Fighter, Final Fantasy The Spirit Within, Advent Children, Silent Hill), novel ke komik (5cm, Anak Kos Dodol, Kambing Jantan), dan lain-lain. Dalam adaptasi jenis ini, konsumen sudah mengetahui secara jelas bahwa beberapa karya tersebut adalah karya yang berasal dari sumber yang sama, hanya media penyampaiannya saja yang berbeda. 


 Kalau Harry Potter, bukunya ada lebih dahulu, baru kemudian dibuat filmnya...
Kalau di dalam negeri...prosesnya bisa terbalik...

 Film Nagabonar Jadi 2 dibuat lebih dahulu, baru kemudian konsep bukunya dibuat. Dua-duanya menawarkan jalinan cerita yang memikat dari sudut pandang yang berbeda. Film Naga Bonar memakai third person view, sedangkan novelnya memakai sudut pandang orang pertama, yaitu Naga Bonar itu sendiri. Hasilnya, ada beberapa adegan yang tidak diceritakan di film, tapi ada di novel. Seru kan? Bedanya lagi, kalau pas nonton filmnya, Neko ngakak-ngakak, pas baca bukunya, baru bab awal Neko udah dibuat mewek...


 Nggak semua adaptasi, melulu dari novel ke film dan sebaliknya. Ada juga yang dari novel ke komik, dan lain sebagainya...
 

Neko belum baca novelnya tapi langsung beli komiknya coz ngefans ama komikusnya...Hehehe Novelnya jauh lebih mahal euy! (Komiknya aja 45 rebong, tapi worthy lah) Nabung dulu deh, atau ada yang minat minjemin? Hihihi
Judul karya pra dan pasca adaptasi pun biasanya sama, atau kalaupun beda, tetap membawa judul asli karya yang diadaptasi (misalnya Final Fantasy VII: Advent Children, yang diadaptasi dari game berjudul Final Fantasy VII…doang.)

 Nah, pada paragraf-paragraf di atas, Neko sudah berusaha memaparkan contoh-contoh hasil produk dari teori resepsi. Lalu konsep dasarnya sendiri apa? (Ceritanya pakai metode penyimpulan induktif nih hehehee)

C. Resepsi sama dengan Kondangan

Kalau Pak Karkono, menjelaskan konsep dasarnya sebagai berikut:

"Resepsi adalah bentuk interaksi pembaca 
dengan karya sastra."

Dan konsep inilah yang seharusnya dipahami lebih dahulu, sebelum kita berbicara panjang lebar dan membandingkan hasil adaptasi karya sastra dengan karya sastra aslinya, seperti contoh-contoh di atas.

Maksudnya gimana nih?

Hmm...seperti yang sudah Neko sering singgung di beberapa editorial yang lalu, karya sastra itu baru bisa dikatakan hidup dan bermakna ketika karya itu telah dibaca dan terlebih jika mendapat tanggapan dari pembacanya. Maka jika ada seseorang yang hanya menyimpan karya-karyanya sendiri karena alasan 'minder', 'malu', atau 'isin', sama saja dia membunuh hasil karyanya sendiri dengan menjadikannya sebagai artefak mati belaka (ayolah...narsislah dikit. Narsis positif ini..hehhee). Dan tentu saja karena kalangan pembaca sastra itu beragam, cara mereka memahami dan menanggapi karya sastra pun berbeda. Walaupun, karya sastra yang dibaca itu sama.



Misalnya, satu novel Ronggeng Dukuh Paruk, sudah menjadi bahan skripsi sejuta umat. Sumbernya sama, tapi hasil analisa dan interpretasi setiap orang, jelas beragam. Bahkan seperti yang sudah disampaikan Pak Karkono beberapa waktu lalu, sering hasil tanggapan orang-orang itu jauh lebih heboh daripada isi karya sastra itu sendiri. Satu karya yang sama bisa menjadi sumber perdebatan panjang di ruang-ruang kelas perkuliahan, atau forum-forum diskusi internet. Dan semakin banyak yang membahas dan menanggapi karyanya, semakin bahagialah seorang penghasil karya sastra. Itulah menariknya dunia kritik sastra hehehe... (Sayangnya hal ini terkadang malah membuat teori-teori sastra dan fenomena sastra yang seharusnya simple dan mudah dipahami itu menjadi terkesan rumit =( Seolah menjadi intelektual ini berarti sama dengan mahir berbicara dengan bahasa alien... Sama seperti kata seseorang yang pernah Neko baca di dalam buku, "Saya lebih bisa memahami hasil tulisan Socrates sendiri, daripada ketika membaca hasil tulisan orang-orang yang membahas tentang filsafat Socrates...)

Pernah nggak sih dengar ada penulis yang berdiplomasi seperti ini? "Untuk interpretasi karya, saya serahkan sepenuhnya pada imajinasi para pembaca," biasanya kemudian akan diembel-embeli ungkapan seperti ini, "Bagi saya personal, karya ini hanyalah ungkapan kebebasan berekspresi dan berimajinasi."
Cieeeee...gaya banget getooooowh hehehe. Tapi yah memang seperti itulah adanya. Ketika sebuah karya sastra telah sampai di tangan pembaca, maka tercapailah misi pengarang (paling tidak untuk tahapan pertama. Jika kemudian pengarang mau merevisi atau membuat karya sekuel atau prekuel berdasarkan permintaan pembaca, bisa saja. Berarti sang penulis ingin menindaklanjuti karyanya.). Pengarang tidak bisa mendikte pembaca begitu saja. Terserah pembaca mau memaknai sebuah karya seperti apa. Misalnya, beberapa kalangan menganggap novel Ayat-Ayat Cinta hanya menjual mimpi, karena tokoh Fahri digambarkan begitu sempurna, nyaris tanpa cacat, bagai malaikat berbentuk makhluk alam hayat. Tapi kalangan sastrawan yang sering menghasilkan karya-karya Islami justru membela karya ini dengan mengatakan, "Ayat-Ayat Cinta adalah oase di tengah kelesuan karya-karya Islami yang mulai tergeser oleh sastra-sastra yang berani mengangkat masalah seksualitas dengan vulgar." Sah-sah saja kan? Menurut Neko, karya yang bagus adalah karya yang bisa membebaskan pemikiran pembaca =)

 
Balik ke topik, salah satu contoh hasil interaksi pembaca dengan sebuah karya yang bisa menghasilkan karya lain: film GIE. Mira Lesmana terinspirasi dengan Buku Harian Seorang Demonstran yang merupakan memoar almarhum Soe Hok Gie. Kemudian produser film-film berkualitas itu menghubungi Riri Riza dan mempromosikan buku itu.  Sutradara sekaligus penulis skenario itu lalu menghasilkan skenario film GIE berdasarkan interaksinya dengan buku memoar itu. Terlepas dari kenyataan bahwa Nicholas Saputra terlalu ganteng untuk memerankan seorang Gie (ha...ha...ha...) dan beberapa kritik lain terkait dengan faktualitas sejarah, film itu mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan. Riri Riza dan Mira Lesmana pun melakukan proses kreatif yang hampir serupa terhadap novel Laskar Pelangi. Mereka  menerjemahkan novel itu ke dalam bentuk skenario lalu beserta seluruh kru, menghidupkan karya epik pendidikan itu melalui media audio-visual. Itulah hebatnya orang-orang kreatif. Mereka sanggup mengambil pelajaran dan menghasilkan karya baru dari karya-karya yang terdahulu. Dan langkah pertama yang bisa kita tempuh untuk menjadi orang-orang di atas adalah dengan menjadi pembaca kritis dan aktif =)

Tidak heran jika kemudian hasil adaptasinya memiliki ‘rasa’ yang benar-benar baru seperti penambahan plot cerita (penambahan plot masalah poligami dalam film AAC yang tidak terlalu disorot dalam film), perbedaan sudut pandang (Novel Naga Bonar diceritakan dengan memakai sudut pandang Naga Bonar sebagai “aku”, sedangkan novel Brownies memakai sudut pandang “aku” sebagai ‘cita rasa’ yang terkandung dalam sepotong Brownies yang dimasak dengan penuh cinta dan ketulusan.) Bisa juga merupakan lanjutan dari karya yang sebelumnya atau sequel dan itu juga berarti penambahan tokoh karakter yang tidak ada di versi aslinya (Final Fantasy VII: Advent Children yang mengambil seting waktu dua tahun setelah peristiwa di ending game-nya. Di sini bertebaran tokoh-tokoh yang tidak pernah muncul di versi game-nya.). Contoh yang terakhir ini juga bisa dilihat dari hasil interpretasi Tim Burton dalam film Alice in Wonderland yang dibintangi Johnny Depp (memerankan tokoh Mad Hatter). Keren seperti cerita aslinya? (menurut Neko sih) Iya. Sama persis dengan cerita aslinya? Tunggu dulu...

Lagian wajarlah kalau versi film dan versi asli dibikin agak berbeda. Kalau sama persis dan ngeplek buat apa merogoh kocek untuk nonton hasil adaptasinya di bioskop? Mending enak-enak di rumah, tiduran sambil baca karya aslinya dan kalau pingin lihat visualisasinya tinggal download bajakannya di net...hehehe PLAK!
Final Fantasy VII classic, versi game. Gaya gambarnya kartun anime banget.
Versi berikutnya. Tokoh kebanyakan masih sama, tapi grafis lebih real. Beberapa karakter baru di tambahkan di sini
Tidak hanya penambahan, bisa jadi hasil adaptasi justru mengurangi beberapa elemen karena masalah teknis, misalnya tidak mungkin kan keseluruhan adegan novel Laskar Pelangi yang jumlahnya 400 lembar lebih itu bisa difilmkan semua dalam pita seluloid yang hanya berdurasi sekitar  2 jam kurang? Nah kemudian, kami semua pun diperkenalkan pada satu istilah baru: EKRANISASI. Ekranisasi adalah adaptasi karya sastra ke dalam media berupa film. Nama lainnya bisa menjad sinemanisasi, atau filmisasi. Tapi yang lebih populer di kalangan peneliti sastra adalah istilah EKRANISASI. Untuk konsep ini, akan Neko bahas di editorial selanjutnya.
Nah, biasanya masalah mirip-tidaknya hasil film adaptasi dengan karya yang diadaptasi inilah yang menjadi perdebatan di kalangan fans. Banyak kalangan fans fanatik yang justru tidak rela ketika naskah asli suatu karya sastra diadaptasi ke dalam bentuk media yang lain, paling sering ya dari novel ke film. Alasannya karena bisa jadi film tersebut akan merusak imajinasi pembaca atau tidak sanggup memvisualisasikan imaji dalam novel tersebut secara sempurna. Kadang, konflik juga terjadi di antara penulis karya sastra yang diadaptasi dengan pihak pembuat film. Di sini idealisme masing-masinglah yang berbicara. 

Rachmania Arunita, sukses sebagai penulis novel dan skenario
Penulis umumnya memegang teguh ideologi dan alasan penciptaan karyanya. Sedangkan pihak produksi film umumnya lebih mengedepankan ideologi material atau profit (karena proses pembuatan film lebih melelahkan dan lebih memakan biaya). Contohnya kekecewaan Habiburrahman El Shiraizy dengan film adaptasi Ayat-Ayat Cinta (telepas dari film itu menjadi mega box-office) karena Hanung menggambarkan beberapa adegan seperti seorang akhwat yang sampai membuka jilbab ketika kecewa dengan seorang lelaki, dan adegan Aisyah yang memperlihatkan rambutnya, lalu masih banyak lagi. Karena itulah Habiburrahman kemudian mempercayakan adaptasi film dari novel selanjutnya, Ketika Cinta Bertasbih, kepada Chaerul Umam. Karena permasalahan ideologi yang dipegang teguh seperti inilah banyak penulis novel yang akhirnya memilih menulis sendiri skenario adaptasi novelnya dan akhirnya sukses! Contohnya adalah Rachmania Arunita, penulis novel dan skenario film Eiffel I’m in Love. 
Banyak juga penulis yang walaupun tidak menulis sendiri adaptasi skenarionya tapi ikut mengontrol ketat proses penulisan draft script dan seleksi pemeran filmnya. Contohnya ya J.K. Rowling yang mensyaratkan semua tokoh Harry Potter diperankan aktor-aktris asli Inggris, dan Habiburrahman El Shiraizy yang mengontrol ketat sampai ke masalah apakah pemeran Azam sudah sholat tepat waktu atau tidak ketika menjalani proses syuting. Demi fans dan terutama mempertahankan prinsip dibuatnya suatu karya sastra, semua itu sah-sah saja. Sedangkan bagus tidaknya kualitas hasil akhir suatu proses adaptasi, pasarlah yang akan menjawab. Selain pasar, festival-festival film bergengsi seperti Academy Award, Golden Bear, Cannes Festival, dkk-lah yang juga ikut berbicara. Karena perlu diingat bahwa tidak semua film yang bagus secara kualitas sukses di pasaran. 
Nah, kalau perdebatan seputar teori resepsi biasanya berkutat di masalah perbandingan hasil adaptasi karya sastra dengan karya sastra yang diadaptasi, maka perbincangan mengenai teori intertekstualitas secara pribadi Neko anggap lebih seru, tidak ada habisnya dan sering…lebih mbulet lagi! (yang mbulet bukan teorinya, tapi perdebatannya) Masalahnya yang kerap kali bersinggungan dengan konsep ini adalah tuduhan PLAGIARISME dan isu ORISINALITAS. Nah loh??? Daripada kepanjangan dan akhirnya malah pusing karena melihat kebanyakan teks, marilah rehat sejenak. Neko akan berusaha meneruskan pembahasan ini insyaallah pada beberapa artikel editorial selanjutnya yang akan bertema:
INTERTEKSTUALITAS VS ORISINALITAS

 bersambung