(DAS FICTION) Kota yang Dijanjikan

Minggu, 15 September 2013

Minggu lalu, FLP Malang mengadakan acara bedah karya lagi. Kali ini karya yang dibahas adalah karya dari Mbak Vega. Cerpen di bawah ini dibiarkan apa adanya tanpa editing sama sekali. Cerpen kali ini termasuk cerpen yang bisa dibilang "istimewa" karena mengedepankan diksi-diksi yang puitis. So Dear readers,  Enjoy... and let us know your appreciations in the comment box... ^_^

Kota yang dijanjikan
oleh Vega El-Vaza



Senja memelukku dengan hangat. Ku lihat lagi tiket di tanganku. Angin menggodanya untuk lepas dari genggaman. Hari ini adalah hari dimana aku akan memenuhi sebuah janji di kota yang telah dijanjikan. Sebuah janji yang masih kupegang sampai sekarang. Janji yang membuatku merasa berdosa, saat langkah ini enggan untuk berangkat ke sana. Janji yang membuatku merasa ingin tertawa dalam tangis dan tangis dalam tawa.

Janji inilah yang membuatku merasa hidup dalam kehidupan. Merasakan gila dalam lorong kesendirian yang kelam dan merasa kuat meski hanya ada aku dan Tuhan. Namun sekarang tak kupedulikan lagi semua yang menghadang, termasuk kenyataan yang sama sekali tak kuharapkan dan sangat menyakitkan.

Biarlah sekarang kulangkahkan kakiku menuju kota yang telah dijanjikan. Tanpa apa yang kuingin, kuharap dan kurindukan. Senja masih memelukku, meski cahayanya tinggal menyisakan siluet indah.

Janji ini bukanlah ajang pembuktian diri yang amanah. Tapi janji ini adalah sebuah media untuk mengatakan sebuah kejujuran yang telah absurd dalam kebohongan. Janji ini adalah rinduku, janji ini adalah diriku dan janji ini adalah gairah hidupku untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Sebenar hati yang bicara.

Aku membuang nafas demi mengusir jenuh dalam penantian kereta. Aku tersenyum sendiri dalam atmosfir yang tak bisa kupahami. Semua bercampur satu dalam kanvas jiwa. Lelah tak kurasa, penat tak kurasa namun bahagia pun juga tak berasa. Entahlah.

Angin sore yang berubah menjadi angin malam berusaha menyelinap masuk dalam celah-celah jaketku. Membuatku semakin menggigil dalam perih. Suasana stasiun juga menyiratkan cerita tawa lara di setiap orang yang datang dan pergi. Mungkin juga salah satu dari mereka sama sepertiku. Datang dan pergi untuk memenuhi janji.

Kulihat jam yang memutari pergelangan tanganku menunjukkan waktu yang semakin menguras rasaku. Otakku kupaksa untuk berhenti menampilkan slide masa lalu. Masa yang sangat sakit sampai masih bisa kucium bau lara sampai detik ini. Masa yang memberiku imun untuk menghadapi dunia yang tak seperti hitungan Matematika. Masa yang memberiku pelajaran akan sesuatu yang sangat terlambat untuk kupahami dan menjadi yang kusesali.

Kereta yang membawaku menuju kota yang telah dijanjikan masih berada di stasiun sebelumnya. Menguntungkanku untuk meratapi diri yang masih konyol untuk menemukan jati diri. Diriku yang bersandar pada bangku tunggu, sama halnya menunggu-nya yang semakin jauh meninggalkanku. Sebuah kesia-siaan yang masih ingin kunikmati dalam sebuah ukiran penyesalan hati.

Opiniku tentang diriku sendiri adalah gila. Entah kegilaan apa yang bersarang dalam otakku. Yang jelas aku berada pada titik gila. Lalu aku menertawakan diriku sendiri, menyadari jika aku memang pantas untuk ditertawakan. Kebodohan atas nama keegoisan yang sama-sama kuanut dan berakibat menjadi sebuah kegilaan yang bercokol pada fikirku.
Kereta yang kutunggu masih belum juga sampai. Sama dengan harapku yang ingin melihat-nya juga masih belum tersampaikan. Atau mungkin tak akan pernah tersampaikan? Itulah halusinasi yang kutakuti. Tapi memang benar, di kehidupan nyata pun itu tak akan pernah ter-realisasi. Kami tak bisa melihat satu sama lain lagi. Tak akan pernah.

Tak bermaksud mendahului tangan Tuhan. Tapi ini adalah kenyataan. Biarlah mata yang pernah melihatku dengan hangatnya itu, menjadi mozaik lain yang menjelma menjadi lukisan baru di kehidupan mendatang.

Malam telah datang, menyapaku dengan ucapan dinginnya angin. Asap putih keluar setiap kali kuhela nafas. Dingin. Terdengar pemberitahuan jika keretaku akan datang sebentar lagi. Aku tersenyum lega. Kereta akan datang, mengantarkanku menuju kota yang telah dijanjikan.

Kota yang seperti syair lagu, mampu menyimpan kenangan. Kenangan manis namun pahit setiap kali kuingat. Kota yang diam namun bercerita tentang rasa yang pernah kurasa saat aku mulai menanggalkannya. Kota yang ramai namun tak bertahan lama pada mataku yang hanya mampu memandang sepi.

Kupejamkan mata untuk rasa melankolis, hiperbola, dan ironis. Tiga kata untuk merepresentasikan kegilaan yang kuciptakan sendiri. Kegilaan yang mencambukku untuk menepati janji. Kegilaan yang kadang-kadang membuatku bersemangat untuk melihatnya lagi. Kegilaan yang akhirnya tak bisa kukendalikan. Kegilaan yang seperti sakaw.

Ya, janji itu adalah kegilaanku, kegilaanku adalah ironi dan itu semua menyelimutiku dengan halusinasi indah namun lara saat ku buka mata. Seperti saat silaunya lampu kereta yang membuatku membuka mata. Telah datang, kereta yang membawaku ke kota itu telah datang.

Kulangkahkan kakiku dengan mantap menuju kereta yang terbujur kaku. Sejenak kusempatkan menoleh ke belakang. Mengharapkan sesuatu yang aku sadari tak akan pernah datang. Aku tersenyum dan yakin jika yang kulakukan ini adalah sendiri. Aku seorang diri. Teringat lagi apa yang telah dijanjikan.

“apapun yang terjadi, kita harus kembali kesini lagi...”

Dia mendongak dan mengangguk, “iya, kita harus kesini lagi...”. Matanya berbinar-binar.

“just both of us?”

“yes, both of us”

“janji?”

“janji”

Aku  tersenyum perih mengingatnya. Janji itu hanya terlunasi setengah. Karena yang datang ke kota itu hanya aku seorang. Seorang diri. Tanpanya, tanpa mata indahnya. Karena dia telah pergi. Pergi dan tak akan kembali. Kereta mulai berjalan dan lagi-lagi ku pejamkan mata diam-diam.

‘Ra...sekarang, di hari ini dan di tanggal ini aku telah kembali kesini. Kembali pada janji atau mungkin sumpahku untuk kembai ke kota yang dijanjikan ini...

Ra...aku tahu semua tak seperti dulu lagi. Tak akan pernah. Tapi setidaknya izinkan aku untuk mengenang kenangan itu. Meskipun kenangan itu hanya sejenak. Namun itulah kenangan yang tak pernah luntur dalam lembar langkah hidupku sampai detik ini kakiku kembali kesini...

Ra...di tanggal ini, aku berada di kota ini demi bertemu dengan bayang indahmu itu. Memang tak akan terjadi pada nyata inginku itu. Tapi izinkan sekali lagi, diriku bermain dengan mayamu, karena waktu sudah tak berpihak pada apa yang kuharap dan yang kurindu...untukmu

Ra...aku kembali kesini...ke kota yang dijanjikan oleh kita...Jogja...’

Tamat

Sudah menikmati cerpen di atas? Bagaimana pendapat kalian? Tuliskan kesan dan saran kalian di kotak komen ya. Ikuti pembahasan mendalam tentang cerpen ini yang ditulis oleh salah satu editor kami, Ain Nur. Untuk membaca tulisan Ain Nur tentang cerpen puitis di atas, klik tulisan di bawah ini:



Share this

0 Comment to "(DAS FICTION) Kota yang Dijanjikan"

Post a Comment