by Agie Botianovi
Marah, dongkol, sekaligus bertanya-tanya, “Apakah Bu guru itu tidak punya anak juga di rumah? Bagaimana jika anaknya diperlakukan seperti itu? Apakah memang begitu cara mendidik yang baik?”
Sebagai seorang yang tidak berkecimpung dan mempelajari dunia kependidikan, pertanyaan-pertanyaan itu jelas muncul di dalam diri saya. Saya yang salah mengartikan cara guru itu atau saya yang memang kurang memahami bagaimana cara mendidik anak yang baik?
Tempo hari, saat saya masih tinggal serumah dengan orang tua saya, cerita dari Ibu saya membuat saya sedikit marah, mangkel, dan ada rasa tidak terima. Adik saya yang masih kelas 5 SD tiba-tiba sakit di sekolah, saat jam pelajaran akan segera berakhir. Tanpa adik saya inginkan, dia muntah-muntah mengeluarkan isi perutnya. Sakit memang tidak pernah bisa kita duga kapan datangnya, bahkan di saat Bulan Puasa seperti ini.
Tapi bukan itu, bukan itu yang membuat saya jengkel dan gondok. Dari cerita Ibu saya juga saya mengetahui setelah adik saya muntah-muntah, dalam kondisi yang masih belum cukup sehat, adik saya disuruh oleh gurunya mengepel bekas muntahannya. Kejadian ini menurut Ibu disaksikan sendiri oleh ayah saat menjemput adik yang memang sudah waktunya pulang. Saat ayah datang, kegiatan adik saya mengepel muntahan itu pun diteruskan oleh ayah saya. Itulah yang membuat saya bertanya-tanya tentang cara guru itu mendidik.
Kejadian ini mengingatkan saya pada kejadian sekitar 8-9 tahun silam, saat saya masih memakai seragam putih biru. Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMP, pelajaran Olahraga saya lewati dengan kondisi tubuh yang kurang fit, rasanya badan saya jadi panas dingin dan kepala pusing, dan benar saja, saya langsung meminta ijin untuk tidak melanjutkan pelajaran, ke UKS untuk sekedar rebahan. Tak lama, entah apa yang terjadi, cairan-cairan berasa pahit dan berwarna kuning itu keluar dari mulut saya, yang saya keluarkan begitu saja, tercecer di lantai bawah dipan. Saya masih sadar, hanya pusing, mungkin seperti apa yang adik saya alami. Tapi yang terjadi berikutnya bertolak belakang dengan yang terjadi dengan adik saya. Saya masih sangat ingat, waktu itu guru fisika yang juga guru UKS mengepel muntahan saya. Walau sedikit tidak enak, tapi apa daya, kondisi sayapun masih lemah.
Dari kedua kejadian itu, saya jadi berpikir, “Manakah sebenarnya cara mendidik yang benar?” Tapi jika saya sendiri menjadi gurunya, maka saya akan menjadi seperti guru SMP saya saja. Hehe…
Monday, September 5, 2011 at 6:41pm
Editor’s Note:
Yak setelah beberapa hari lalu, Neko mengupas mini essay dari Pak Day, sekarang giliran karya sang Istri yang dibahas hehehehe…biar adil gitu. Asyik ya, suami-istri sama-sama penulis. So sweet. Singkat aja, Neko suka banget dengan tema dan cerita yang dituliskan Agie di atas. Kisah nyata di atas mungkin bisa dibilang sebagai kasus yang kecil, tapi patut mendapat perhatian dari kita.
Satu potret nyata dalam dunia pendidikan kita. Bagaimana mungkin guru yang tidak punya kepekaan sosial seperti itu bisa lulus tes keguruan? Kepada para murid, dan orangtua murid, sudah lama digembar-gemborkan mengenai teori pentingnya mengembangkan EQ atau kecerdasan sosial. Agaknya tidak hanya para murid dan orangtua saja yang wajib mencermati teori tersebut, tetapi juga para guru. Tugas guru saat ini tidak hanya didefinisikan sebagai pengajar saja, tapi juga pendidik. Artinya guru benar-benar harus bisa di-gugu dan di-tiru tidak hanya dari aspek kognitifnya saja, tapi juga moral, kepekaan sosial dan empati juga merupakan salah duanya.
Saran untuk Agie: menurut Neko, Agie terlalu banyak menggunakan kata “saya” dalam satu kalimat. Misalnya:
“Tempo hari, saat saya masih tinggal serumah dengan orang tua saya, cerita dari Ibu saya membuat saya sedikit marah, mangkel, dan ada rasa tidak terima”
Bagaimana jika kalimat itu diubah agar lebih efektif menjadi seperti ini:
“Tempo hari, saat saya masih tinggal serumah dengan orang tua, ada cerita dari Ibu membuat saya sedikit marah, mangkel, dan ada rasa tidak terima.”
Juga dalam kalimat Agie yang seperti ini:
“Dari cerita Ibu saya juga saya mengetahui setelah adik saya muntah-muntah, dalam kondisi yang masih belum cukup sehat, adik saya disuruh oleh gurunya mengepel bekas muntahannya.”
Coba kita modifikasi sedikit menjadi seperti ini:
“Dari cerita Ibu, juga saya mengetahui setelah adik muntah-muntah, dalam kondisi yang masih belum cukup sehat, dia disuruh oleh gurunya mengepel bekas muntahannya.”
Intinya dalam memilih kata ganti pun perlu variasi, dan meminimalisir pengulangan kata ganti yang tidak perlu. Toh, pembaca juga pasti tahu bahwa adik dan ibu yang dimaksud adalah adik dan ibu dari Agie atau si-“saya” sendiri. Bukan adik atau ibunya orang lain. Hehehehe…
Kemudian, coba kita cermati kalimat berikut ini:
“Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMP, pelajaran Olahraga saya lewati dengan kondisi tubuh yang kurang fit, rasanya badan saya jadi panas dingin dan kepala pusing, dan benar saja, saya langsung meminta ijin untuk tidak melanjutkan pelajaran, ke UKS untuk sekedar rebahan.”
Bagaimana perasaan Pembaca saat membaca kalimat di atas? Kalau Neko sih ngosh-ngosh-an. Panjang banget euy, walau udah dikasih beberapa titik koma sebagai pause. Menurut Neko, kalimat di atas bisa dipecah menjadi beberapa kalimat pendek seperti ini:
- Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMP.
- Pelajaran Olahraga saya lewati dengan kondisi tubuh yang kurang fit.
- Rasanya badan saya jadi panas dingin dan kepala pusing.
- Benar saja, saya langsung meminta ijin untuk tidak melanjutkan pelajaran, dan pergi ke UKS untuk sekedar rebahan.
Neko masih inget banget kata-kata salah satu dosen Bahasa Inggris Neko. “Dulu waktu ada writing test, walau kosa kata yang dipakai dalam karangan tidak terlalu canggih, saya berhasil dapat A. Apa kuncinya? Kalimat yang saya pakai pendek-pendek.”
Yah, begitulah, dalam menulis karangan, jenis apapun itu, kalimat-kalimat pendek justru menjadikan tulisan terasa lebih lincah dan menyenangkan untuk dibaca. So, daripada mengunakan barisan tanda koma untuk memecah kalimat-kalimat yang panjangnya seperti gerbong kereta api, pecah saja kalimat-kalimat tersebut dengan tanda titik. Kalimat pendek juga lebih mudah dipahami. Intinya make it simple gitu loh.
Untuk masalah kalimat efektif, kita bisa banyak belajar dari koran. Karena para jurnalis itu memang dididik untuk menggunakan kalimat-kalimat yang sesingkat dan seefektif mungkin. Soalnya mereka dibatasi oleh space artikel gitu loh. Beda dengan para penulis fiksi. Karena itu jika kita membaca buku-buku yang ditulis oleh ‘mantan’ jurnalis seperti Dahlan Iskan (Ganti Hati, Hati Baru, Belajar Dari Tiongkok, dll) rasanya sangat renyah kan?
Trus yang terakhir agak mengganjal itu judulnya. "Muntah Lalu Mual"? Coba deh, apa persepsi pembaca abis baca essay yang satu ini. Neko beneran ngira ini cerita kehamilan seseorang @_@... So, judulnya ganti apa gitu. Yang tetep bagus tapi nggak berkesan kaya karya ilmiah ehehehehe....
Sekian dulu dari Neko. Neko pun masih harus belajar banyak. Buat Agie, thank you banget udah menyediakan tulisan bertema renyah nan bermanfaat untuk dikopi. Keep you spirit, Gal! En moga keluarganya terus sakinah mawaddah warrohmah...
Cherio
Mizuki-Arjuneko
Profil Penulis
Aremanita yang kini masih menempuh pendidikannya di Jurusan Kimia UIN Malang, sempat menghebohkan jagad raya FLP Malang. Pasalnya doi nih termasuk anggota yang dari segi usia masih imut tapi malah udah curi start buat nikah duluan…HUAHAHAHA… Mana pasangannya ternyata orang FLP Malang pula (melirik Pak Day). Hehehe…tapi jangan salah, walau masih tergolong muda, pembawaan Agie sudah dewasa, matang, dan keibuan loh. Jago masak pula! Apalagi Agie yang tadinya Neko anggap sebagai Ice Queen ini sekarang makin ‘menghangat dan mencair’ setelah menikah. Makin ca’em deh nih akhwat… (aduh kok aku malah promosiin istri orang sih??? >_<) Hehehe…shiawase ni ukhti.
Agie bergabung dalam keluarga besar FLP Malang pada tahun 2010. Kemudian ia diamanahi jabatan pengurus sebagai bendahara. Soalnya doi teliti en telaten banget. Karena background pendidikannya yang murni eksak, awalnya tulisan-tulisan Agie kebanyakan berbau ilmiah dan mengandung bahan-bahan kimia heheh… Setelah gaul ama kita-kita, baru deh doi mulai mencoba gaya penulisan fiksi. Umumnya model karya Agie adalah narasi biografi atau personal literature seperti tulisan di atas. Oke deh Gie, ditunggu yah karya-karya lainnya. Yang bebas formalin lho! Hihihihi…
0 Comment to "(DAS ESSAY): Muntah Lalu Mual..."
Post a Comment