(DAS FICTION): Dalam Sebuah Kereta

Dalam sebuah kereta kami bertemu. Kami duduk berhadap-hadapan. Canggung pada awalnya. Kemudian kami saling sapa. Ia menyapa. Aku menyapa. Dari sungging senyum dan cara memandang, aku menyimpulkan bahwa ia pemuda baik-baik. Setelah bertegur sapa, kami terlibat dalam perbincangan ringan. Kami membuka percakapan dengan pertanyaan yang sama ‘Anda hendak kemana’. Bergilir, kami saling jawab. Aku hendak ke Kota Cinta, ia pun hendak ke Kota Cinta. Sama. Kota itu memang selalu ramai didatangi muda-mudi tiap detiknya. Hanya, seperti aku, ia berbeda. Ia sendiri saja.

Lepas percakapan pembuka, kami menyentuh percakapan berikutnya, tentang ‘Anda berasal dari mana’. Bergilir, kami saling jawab. Aku dari Kota Perawan. Dan ia dari Kota Bujang. Pertanyaan dan jawaban yang sama-sama singkat. Kami pun melanjutkan ke perbincangan berikutnya. Perbincangan yang lebih cair. Kami berbincang tentang kesukaan. Aku suka nonton film. Ia punya jadwal ke bioskop paling tidak seminggu sekali. Aku suka film india. Ia juga suka film india. Aku terkagum-kagum dengan Shahrukh Khan. Ia terpesona mati-matian dengan Preity Zinta. Aku suka membaca novel. Ia juga suka membaca novel. Aku suka Marquez dengan ‘Seratus Tahun Kesunyian’nya. Ia suka Hemingway dengan ‘Lelaki Tua dan Laut’nya.

“Berarti kita sama-sama suka kesunyian,” celetuknya.

Aku tersenyum, mengimbanginya.

“Kau tahu, ternyata kita punya banyak kesamaan,” sambungnya lagi.

“Hampir semua, dan ini seperti sebuah kebetulan,” akhirnya aku mengeluarkan suara.

“Ngomong-ngomong, pernah nonton Paris Je T’aime?”

“Hmm, Paris I Love You, tentang romantisme di kota-kota kecil?”

“Yaps, di antara delapan belas kisah cinta, mana yang paling kau suka?”

“Kalau kau?”

“Kau saja yang jawab dulu.”

“Kau saja.”

“Apa kau yakin, kali ini pendapat kita akan sama?”

“Kita lihat saja.”

“Setelah aku mengatakannya, kau harus janji, kau juga akan mengatakannya. Dengan jujur. Tidak boleh mengekor.”

“Apa aku tampak seperti pembohong dan pengekor?”

“Sedikit.” Ia mengedipkan sebelah matanya, “tidak. Aku hanya bercanda.”

“Ayolah!”

“Baik, aku paling suka kisah cinta tentang seorang badut yang kesepian.”

“Biar kulanjutkan. Kisah badut yang ingin menghibur kesendiriannya dengan lelucon-lecucon yang aneh.”

“Itu pantomim, bukan lelucon yang aneh.”

“Ah, tak ada bedanya. Pantomim memang lelucon yang aneh.”

“Menurutku tidak aneh, justru magis.”

“Magis apanya? Konyol iya.”

“Kok malah jadi bahas pantomim.”

“Kita kan memang sedang membahas kisah cinta si badut pantomim.”

“So?”

“Kita lanjutkan bagaimana ceritanya.”

“Baik, baik, sekarang biar aku yang melanjutkan. Badut yang kesepian itu selalu dianggap sebagai pecundang yang selalu mengganggu privasi orang dengan aksi-aksinya yang aneh seperti katamu.”

“Hingga akhirnya, polisi menangkap dan memenjarakannya.”

“Dan rupanya, penjara itulah anugerah terbesar dalam hidupnya.”

“Ya, karena di sanalah ia menemukan cinta sejatinya, si badut wanita yang juga tampak kesepian.”

“Dan akhirnya, mereka bahagia… Selamanya.”

“Iiih... Seperti dongeng Cinderela saja.”

“Memang Happy ending, kan?” ia mencoba meyakinkan.

“Ya, ya, ya…” terpaksa aku mengiyakan.

“Sebentar, sebentar, apa kau ingin mengatakkan bahwa kisah itulah yang paling kau suka di antara delapan belas kisah yang ada dalam Paris Je T’aime?”

“Apa boleh buat.”

“Kita memang berjodoh.”

“Apa?”

“Maksudku, kita memang punya banyak kesamaan.”

Kami saling diam. Menyelami hati masing-masing. Hingga peluit kereta meraung panjang: Sebentar lagi kereta akan sampai di Stasiun Kota Cinta. Periksa kembali barang bawaan Anda, jangan sampai ada yang tertinggal.

“Sepertinya kita akan berpisah,” ungkapnya seperti tidak rela.

“Semoga, lain waktu, kita dipertemukan lagi,” ungkapku sama, tidak rela.

“Apa kau tidak ingin kita bertukar nomor telepon atau semacamnya?” ia melirihkan suara, tidak yakin dengan yang dikatakannya.

“Boleh, boleh,” aku turut gugup.

Ia menyerahkan kertas kecil bertuliskan sederet angka. Aku menyerahkan kartu nama. Aku tersenyum dan berterima kasih. Ia melakukan hal yang sama. Aku menatapnya. Ia menatapku. Diselingi anggukan ringan. Senang sekali bisa berjumpa denganmu, begitu artinya. Aku terpana. Aku tidak menyadari, bahwa diam-diam ia telah melakukan sesuatu padaku, mungkin semacam hipnotis.

Akhirnya kami pun turun dari kereta melewati pintu yang sama. Kami tersenyum dan menganggukan kepala sekali lagi, sebelum akhirnya berpisah. Dia melangkan ke utara. Aku melangkah ke selatan. Kali ini langkah kami berbeda.

Tiba tiba aku menyesal, seharusnya dalam perbincangan kami tadi, aku menanyakan, untuk apa ia datang sendiri ke kota ini. Bukankah seharusnya ia datang bersama seseorang. Karena kota ini Kota Cinta. Kota yang harus didatangi berdua. Ah, aku tahu jawabannya. Bukankah aku datang ke kota ini juga seorang diri? Ah tidak, aku ke sini tidak seorang diri. Aku datang ke kota ini dengan sebentuk hati dan harapan-harapan. Aku yakin, ia pun sama.

***

Peluit meraung lagi. Kereta melaju pergi. Sosok pemuda itu telah hilang ditelan lalu lalang orang. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, bahwa saku di ulu hatiku terasa ringan, terasa kosong. Ya Tuhan, hatiku tidak ada di tempatnya, hatiku telah hilang. Kugeledah tas dan saku-saku baju, juga celana, tapi tetap saja, hatiku tak ada di sana. Tidak. Hanya itu satu-satunya barang paling berharga yang masih kumiliki. Dan kini raib. Apa mungkin tertinggal di kereta? Ah tidak mungkin. Aku selalu menjaganya dengan baik. Aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja. Tapi ia benar-benar tidak ada. Hilang. Mungkin terjatuh? Atau tertinggal di suatu tempat? Atau, jangan-jangan, seseorang telah mencurinya? Oh tidak, ini alamat buruk.

Aku harus duduk. Aku harus tenang. Kuputar ulang semua kegiatan yang kulakukan mulai dari bangun tidur, mandi, berdandan, sarapan, berangkat ke stasiun, bertemu pemuda yang tampak baik-baik saja dan berbincang panjang dengannya. Aha! Itu dia! Aku yakin, hatiku terjatuh dari tempatnya, ketika bertemu pemuda itu. Pasti pemuda itu yang mengambil hatiku. Dan tanpa izin. Ah, tapi belum tentu juga. Aku tidak boleh berburuk sangka.

Aku masih belum percaya. Kembali kugeledah tas, saku baju, saku celana, juga sebuah saku yang tersemat di ulu dada. Dan di sana—di saku yang tersemat di ulu dada—aku menemukan sesuatu yang bukan milikku. Aku menemukan hati seseorang telah terselip, tertinggal di sana. Tempat di mana seharusnya hatiku berada. Tidaaak! Jangan-jangan hati kami tertukar.

Aku kembali mengacak tas dan saku, mencari kertas kecil berisi sederet angka. Aku harus segera menghubunginya, sebelum hatiku dibawanya terlalu jauh. Di mana kertas itu? Di mana nomor itu? Di mana? Ini dia. Kupencet tombol-tombol angka dengan jemari yang gelisah. Call. Oke.

Tuuuut… tuuut… tuuut…

“Halo?”

“Ya, halo? Siapa?”

“Ini aku, yang tadi di kereta. Halo? Kau masih ingat?”

“Ya. Bagaimana aku bisa lupa. Kau percaya? Baru saja aku mau menghubungimu, dan kau sudah menghubungiku lebih dulu. Kita memang berjodoh.”

“Ha, apa?”

“Ah, lupakan saja. Jadi, apa kau menelponku untuk menanyakan hatimu yang hilang?”

“Ya.”

“Tenang saja. Hatimu aman.”

“Bagaimana kau tahu hatiku aman?”

“Hatimu ada padaku. Aku berjanji akan menjaganya hingga kau mengambilnya kembali. Dan hatiku ada padamu, bukan? Aku yakin. Barangkali hati kita tak sengaja tertukar waktu kita berbincang-bincang di kereta tadi.”

“Lalu, kapan kita bisa ketemu?”

“Bagaimana kalau minggu depan?”

“Apa tidak bisa lebih cepat?”

“Tenang saja. Aku berjanji, hatimu akan aman padaku.”

“Baiklah. Di mana?”

“Di Stasiun Kota Cinta.”

“Ya. Oke.”

“Hei, tunggu,”

“Ya?”

“Jangan lupa, kau bawa hatiku juga, kau juga harus berjanji akan menjaganya dengan baik sampai minggu depan.”

“Tenang saja, kalau kau menjaga hatiku dengan baik, pasti aku akan menjaga hatimu dengan baik. Bukankah kita punya banyak kesamaan?”

“Baik, kalau begitu sampai bertemu minggu depan.”

“Ya.”

Dan klik. Suara di seberang terputus. Jemariku gemetar. Aku memutuskan pulang ke Kota Perawan dengan sebuah kehilangan.

***

Kau tahu rasanya, selalu gelisah, ini gelisah, itu gelisah, makan gelisah, tidur gelisah, semua amal dikawal gelisah. Satu jam bagai sehari, dan sehari bagai seminggu, dan seminggu bagai sebulan. Bukankah itu artinya…

Aku yakin, ini tersebab oleh hati yang tertukar itu. Karena yang kusimpan di saku dadaku adalah hatinya, maka hanya ia yang ada dalam kepalaku, dalam diriku. Aku yakin, dia mersakan hal yang sama, karena dia juga membawa hatiku di saku dadanya. Benar-benar tidak nyaman jika hati kita berada dalam genggaman seseorang.

Menunggu seminggu bagai sebulan. Barangkali bukan masalah jika aku tidak membawa hatinya, atau ia tidak membawa hatiku. Ya Tuhan, satu jam bagai sehari, sehari bagai seminggu, seminggu bagai sebulan. Waktu yang sangat lama untuk urusan hati. Dan anehnya, dalam jangka waktu sebulan, maksudku seminggu, aku benar-benar tidak berani menghubunginya. Selalu gugup dan berdegup-degup.

Ayolah! Seminggu bukan sebulan. Seminggu bukan waktu yang lama.

***

Lega sekali, sebulan telah berlalu, maksudku seminggu. Kami akan segera bertemu di Stasiun Kota Cinta. Kami akan mengembalikan hati kami masing-masing kepada pemiliknya. Dan kami tak perlu lagi dilanda gelisah. Aneh bukan? Aku mempersiapkan diriku dengan sangat sempurna untuk sebuah pertemuan, pertemuan yang tiba-tiba terasa sangat istimewa. Aku berangkat ke Stasiun Kota Cinta dengan gugup yang berdegup-degup.

Di sebuah bangku panjang, di kursi tunggu penumpang, ia duduk seorang diri. Dari jauh aku tersenyum. Ia pun tersenyum. Sungguh, aku tak pernah melihat pesona serupa itu, bahkan tidak pada Shahrukh Khan, artis idolaku. Aku semakin gugup. Apa ia juga gugup?

“Hai, maaf, sudah membuatmu menunggu,” basa-basi yang terdengar, lagi-lagi, gugup.

“Tidak. Maaf, sudah membuatmu jauh-jauh datang ke tempat ini.”

“Kau tidak lupa membawa hatiku, kan?”

“Ouh, tentu. Ini hatimu. Kukembalikan. Semoga tidak ada yang cidera atau luka.” Ia mengembalikannya lewat tatapan. Aku menerimanya lewat tatapan.

“Dan ini hatimu! Aku juga sudah berusaha untuk merawatnya dengan baik. Semoga tidak ada yang rusak atau koyak.” Aku mengembalikannya, tetap lewat tatapan. Ia pun menerimanya, masih lewat tatapan.

“Terima kasih.”

“Tidak. Terima kasih.”

Aku lega hatiku kembali. Aku diam. Ia diam. Kami sama-sama diam. Kehilangan bahan perbincangan.

“Apa kau terburu-buru?” suaranya membuatku terantuk.

“Tidak. Tapi, maaf, aku tak bisa berlama-lama.”

“Apa kau takut, hati kita akan tertukar lagi?”

“Tidak. Aku hanya merasa tidak enak jika harus membawa hati seseorang.”

“Baiklah. Tapi, jika suatu saat kau butuh seseorang untuk menjaga hatimu, kau bisa menghubungiku,” ia beranjak dari duduknya. Membungkukkan badan selintas. Dan mengucapkan salam perpisahan. “Semoga, di lain waktu, kita bertemu lagi.”

Hatiku telah kembali. Tapi mulutku bisu. Ia seperti membawa pergi pita suaraku. Aneh, hatiku sudah kembali, tapi gugup yang berdegup-degup itu tak juga hilang. Aku memutuskan pulang, kali ini berteman kehilangan yang lain, kehilangan yang terasa jalang. Sampai di rumah, dengan lemas kutengok kembali saku di ulu dadaku. Aku hampir tak percaya, yang tersemat di sana bukan hatiku, tapi hatinya. Hati kami tertukar lagi, untuk kedua kalinya.***




Madiun, 30 Juni 2011

Share this

0 Comment to "(DAS FICTION): Dalam Sebuah Kereta"

Post a Comment